Umat Malesung di tanah Minahasa sangatlah banyak sebenarnya. Hanya saja mereka kebanyakan tidak menyadari bahwa mereka adalah penganut agama Malesung. Yang saya maksudkan adalah mereka yang masih setia menjalankan ritual atau ibadah sesuai ajaran leluhur Minahasa yang diwariskan dari generasi ke generasi sejak zaman Malesung.
Keyakinan mereka ini ditentang oleh gereja. Karena praktik-praktik religius yang dijalankan sangat bertentangan dengan injil dan doktrin gereja, terutama terkait soal ritus menghormati para leluhur. Itu dianggap sebagai berhala. Umat ini adalah orang Minahasa yang tersebar di hampir seluruh tanah Minahasa. Bahkan mereka ada yang sudah bermukim di luar daerah dan luar negeri. Yang menarik adalah ritual warisan leluhur tetap mereka jaga dan lakukan dengan setia secara rutin. Meski dihimpit oleh banyak tantangan, seperti menjadi target upaya konversi (pemurtadan) dari agama lain dan tudingan miring atau penganiayaan verbal.
Umat Malesung ini perlu mendapatkan wadah agar mereka memiliki tempat untuk mengekpresikan keyakinan mereka secara aman, nyaman dan bebas. Mereka memerlukan tempat perlindungan hak-hak konstitusional mereka. Bila ada satu lembaga dimana mereka bisa berkumpul dan berbagi pengalaman iman dengan sesama penganut, tentu mereka akan kuat dan mampu bertahan di tengah gempuran dari luar, terutama serangan-serangan dari lembaga atau oknum yang berupaya menekan gerak mereka.
Bila mereka tidak memiliki satu lembaga maka mereka bisa menjadi liar atau terhisap ke dalam lembaga agama lain yang sebenarnya ajaran serta doktrinnya tidak mereka yakini betul. Umat Malesung yang liar ini perlu dikumpulkan dalam satu wadah. Mereka biasanya minoritas dimana mereka berdomisili. Dengan berorganisasi, umat ini akan saling menguatkan dalam pemahaman akan ajaran agama Malesung. Mereka akan saling berbagi pengalaman iman. Kesaksian-kesaksian mereka sebagai penganut agama Malesung akan membantu diri mereka sendiri dalam menjalani kehidupan keseharian mereka. Dengan berorganisasi pula mereka tidak akan gampang dituduh sebagai orang-orang yang menyimpang atau sesat. Karena organisasi mereka terdaftar di instansi terkait. Sekali lagi, ketika umat Malesung terhimpun dalam satu lembaga maka mereka akan kuat dan bebas bergerak.
Ada banyak orang Minahasa saat ini telah terhimpun dalam beberapa komunitas. Mereka menyebut diri mereka sebagai pelestari budaya Minahasa. Mereka unik karena yang dilestarikan bukan hanya terkait seni (tarian, lagu, ukiran, dll) tapi juga ritual atau upacara adat warisan leluhur, warisan agama Malesung. Mereka harus dibedakan dari seniman dan budayawan Minahasa biasa. Seniman dan budayawan Minahasa ini tidak memeluk dan menganut unsur-unsur religius dari ajaran para leluhur. Mereka bisa saja hanya menganggap itu sebagai warisan bernilai seni dan sejarah, tidak lebih. Tentu beda dengan para penganut agama Malesung yang selain melestarikan warisan leluhur Minahasa yang bernilai seni dan historis, juga meyakininya sebagai jalan spiritual atau sebagai bagian dari sistem kepercayaan mereka.
Hari ini tanah Minahasa memang memiliki organisasi-organisasi kepercayaan atau agama Malesung. Diantaranya Manguni Esa Keter (MEK) di Tikala Kota Manado yang didirikan oleh mendiang Melvin (Dede) Katoppo, Waranei Waha di Malalayang kota Manado yang didirikan dan dipimpin oleh Petrus Kapele, Lalang Rondor Malesung (LAROMA) di Kabupaten Minahasa Selatan, dan RAMAI di Tanawangko Kabupaten Minahasa. Organisasi-organisasi ini berafiliasi dengan Majelis Luhur Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa (MLKI) yang berkantor pusat di ibu kota negara Indonesia. Perlu juga diketahui bahwa sebelum organisasi-organisasi di atas, telah ada organisasi-organisasi kepercayaan Malesung yang pernah berkiprah di tanah Malesung, antara lain: Empung Lokon Esa, Kalkikan, Pa Empungan Waya Si Opo Empung, Rumareges, Si Paempungan, dan Tonaas Walian. Nama organisasi yang terakhir inilah (Tonaas Walian) yang diberitakan di media masa sebagai nama agama Malesung. Padahal itu hanya salah satu organisasi kepercayaan di tanah Minahasa.
Agama Malesung adalah salah satu dari agama-agama di Nusantara yang telah ada bahkan sebelum Indonesia ada. Umat yang memeluk agama Malesung hari ini memang perlu belajar dari agama-agama Nusantara lain yang telah mampu mengorganisir diri dalam lembaga yang kuat. Agama-agama Nusantara yang bisa disebut disini adalah Parmalim (Batak), Kejawen (Jawa), Sunda Wiwitan (Sunda), Kaharingan (Kalimantan), Aluk Todolo (Toraja), Marapu (NTT), Tolotang (Bugis), Adat Musi (Talaud) dan Masade (Sangihe).
Agama-agama Nusantara ini meski telah diberikan kekuatan melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 97/PUU-XIV/2016, tetap masih agak terdiskriminasi. Karena atas desakan lembaga agama mayoritas MUI, agama-agama di Nusantara hanya digolongkan sebagai "Kepercayaan". Bukan sebagai agama. Salah satu dasar yang dipakai adalah karena agama-agama Nusantara ini tidak memiliki kitab suci dan nabi. Jadi, semua agama-agama Nusantara hanya diberikan satu nama, yakni "Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa".
Ini berarti, sebagai contoh, penganut agama Sunda Wiwitan tidak bisa mencantumkan nama agama "Sunda Wiwitan" dalam KTP-nya. Yang tertera adalah "Kepercayaan: Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa". Ini masih merupakan perlakuan yang sangat tak adil. Karena definisi agama yang digunakan bersifat politis, definisi yang sesuai dengan definisi agama samawi.
Meski demikian para penganut agama-agama di Nusantara butuh istirahat dulu. Protes terhadap aturan pemerintah yang masih diskriminatif itu untuk sementara ditahan dulu. Meski di KTP hanya tertera "Kepercayaan: Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa" namun sudah patut disyukuri. Paling tidak, kolom agama bukan bertanda (-) atau kosong. Atau paling tidak, kolom agama tidak diisi dengan salah satu dari enam nama agama "impor" itu. Selain itu, putusan MK tersebut di atas sudah membolehkan para penganut agama-agama di Nusantara menikah sesuai dengan keyakinannya.
Comments
Post a Comment