Agama-agama "impor" tatkala datang pertama kali di tanah Malesung (sebutan lebih tua untuk Minahasa), nyaris semuanya, pernah berhadapan langsung dengan agama asli Minahasa. Apa sebenarnya nama agama asli orang Minahasa? Pertanyaan itu barangkali banyak muncul di benak orang-orang Minahasa modern sekarang ini. Bahkan mungkin pertanyaan itu pernah muncul ketika agama-agama pendatang menapakkan kaki di tanah bagian utara pulau Sulawesi ini.
Kata agama sejatinya tidak dikenal di Minahasa sebelum bahasa Melayu diperkenalkan. Namun tidak berarti para leluhur kita tidak memiliki agama atau tidak memiliki kepercayaan kepada Khalik langit dan bumi. Begitu pula dengan kata religion (Inggris) yang merupakan padanan kata agama, kata itu sama sekali tak dikenal.
Lalu apa agamanya orang-orang Minahasa dahulu kala? Kehidupan orang Malesung itu sendiri diatur melalui kanaraman (tatacara kebiasaan dan adat istiadat) . Ketika bicara tentang kanaraman sebetulnya itu sudah termasuk kepercayaan kepada Mahluk Tertinggi yang disapa dengan berbagai sebutan. Dalam kehidupan orang Minahasa nyaris tak bisa dipisahkan atau dibedakan antara urusan agama, politik, pertanian, kesenian dll. Kesemuanya itu terangkai dalam satu istilah, yaitu kanaraman, yang arti harafiahnya adalah kebiasaan.
Khusus upacara-upacara keagamaan orang Minahasa bagian utara disebut peposanan. Posan berarti larangan-larangan. Di Minahasa bagian selatan disebut pepeli'i atau peli'i. Namun di zaman kini, ritual-ritual orang Minahasa secara umum disebut Ba'ator (Melayu Manado: mengatur/menata). Yang ditata atau diatur disini adalah benda-benda di altar tempat persembahan atau sesajian sebagai penghormatan terhadap para leluhur dan penyembahan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
Yang menganggap Mahluk Tertinggi itu sebagai sumber benih dan sifat, menyebutNya dengan Kasuruang. Yang menganggap Yang Maha Tinggi itu sebagai yang empunya segalanya, menggelariNya Wailan. Yang menganggap Sang Ilahi layaknya orangtua yang amat penyayang dan pelindung memanggilNya Apo, Opo, dan Empung. Di kemudian hari orang Minahasa menyebut Tuhan dengan Apo Kasuruang Wangko, Empung Wailan Wangko, dll.
Meskipun orang Minahasa mungkin tidak pernah menamakan sistem kepercayaan mereka dengan istilah khusus, namun bagaimana pun, suka tidak suka, para misionaris Kristen tetap menyematkan istilah untuk mengidentifikasi sistem kepercayaan mereka. Orang-orang Eropa itu kadang menyebut sistem kepercayaan orang Minahasa dengan "agama Malesung", "agama Alifuru", "agama Kaper atau Kafir", "agama asli" dan lain sebagainya.
Saya sendiri lebih suka menyebut agama asli orang Minahasa dengan nama Agama Malesung. Sayangnya, saat ini nama agama orang Minahasa yang tercatat di Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat tak seperti yang kami kenal. Di Jakarta, agama orang Minahasa itu terdaftar sebagai agama Tonaas-Walian. Memang dua kata itu menunjuk pada dua jabatan yang erat kaitannya dengan pelaksanaan upacara dan ritual Malesung. Mereka merupakan pemimpin masyarakat Minahasa yang adalah tokoh-tokoh penuntun atau penunjuk jalan bagi orang Minahasa agar senantiasa berada di Lalang Karondoran (Jalan Kebenaran). Bukan di Lalang Kaengkolan (Jalan Bengkok/Salah).
Kata agama sejatinya tidak dikenal di Minahasa sebelum bahasa Melayu diperkenalkan. Namun tidak berarti para leluhur kita tidak memiliki agama atau tidak memiliki kepercayaan kepada Khalik langit dan bumi. Begitu pula dengan kata religion (Inggris) yang merupakan padanan kata agama, kata itu sama sekali tak dikenal.
Lalu apa agamanya orang-orang Minahasa dahulu kala? Kehidupan orang Malesung itu sendiri diatur melalui kanaraman (tatacara kebiasaan dan adat istiadat) . Ketika bicara tentang kanaraman sebetulnya itu sudah termasuk kepercayaan kepada Mahluk Tertinggi yang disapa dengan berbagai sebutan. Dalam kehidupan orang Minahasa nyaris tak bisa dipisahkan atau dibedakan antara urusan agama, politik, pertanian, kesenian dll. Kesemuanya itu terangkai dalam satu istilah, yaitu kanaraman, yang arti harafiahnya adalah kebiasaan.
Khusus upacara-upacara keagamaan orang Minahasa bagian utara disebut peposanan. Posan berarti larangan-larangan. Di Minahasa bagian selatan disebut pepeli'i atau peli'i. Namun di zaman kini, ritual-ritual orang Minahasa secara umum disebut Ba'ator (Melayu Manado: mengatur/menata). Yang ditata atau diatur disini adalah benda-benda di altar tempat persembahan atau sesajian sebagai penghormatan terhadap para leluhur dan penyembahan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
Yang menganggap Mahluk Tertinggi itu sebagai sumber benih dan sifat, menyebutNya dengan Kasuruang. Yang menganggap Yang Maha Tinggi itu sebagai yang empunya segalanya, menggelariNya Wailan. Yang menganggap Sang Ilahi layaknya orangtua yang amat penyayang dan pelindung memanggilNya Apo, Opo, dan Empung. Di kemudian hari orang Minahasa menyebut Tuhan dengan Apo Kasuruang Wangko, Empung Wailan Wangko, dll.
Meskipun orang Minahasa mungkin tidak pernah menamakan sistem kepercayaan mereka dengan istilah khusus, namun bagaimana pun, suka tidak suka, para misionaris Kristen tetap menyematkan istilah untuk mengidentifikasi sistem kepercayaan mereka. Orang-orang Eropa itu kadang menyebut sistem kepercayaan orang Minahasa dengan "agama Malesung", "agama Alifuru", "agama Kaper atau Kafir", "agama asli" dan lain sebagainya.
Saya sendiri lebih suka menyebut agama asli orang Minahasa dengan nama Agama Malesung. Sayangnya, saat ini nama agama orang Minahasa yang tercatat di Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat tak seperti yang kami kenal. Di Jakarta, agama orang Minahasa itu terdaftar sebagai agama Tonaas-Walian. Memang dua kata itu menunjuk pada dua jabatan yang erat kaitannya dengan pelaksanaan upacara dan ritual Malesung. Mereka merupakan pemimpin masyarakat Minahasa yang adalah tokoh-tokoh penuntun atau penunjuk jalan bagi orang Minahasa agar senantiasa berada di Lalang Karondoran (Jalan Kebenaran). Bukan di Lalang Kaengkolan (Jalan Bengkok/Salah).
Comments
Post a Comment