Ada hal yang menarik ketika muncul berita tentang keberadaan agama Malesung di koran online Barta1 di link http ://barta1.com/2020/03/07/penghayat-agama-malesung-merayakan-kebebasan-beridentitas/ beberapa hari yang lalu. Berita yang sama bisa juga dibaca di koran online The Jakarta Post di link https://www.thejakartapost.com/news/2020/03/11/native-faith-believers-in-north-sulawesi-celebrate-freedom-of-religion.html. Setelah link website itu ditampilkan di media sosial (medsos) Facebook, seseorang yang berlatar belakang non agama Malesung meng-capture-nya dan mempublikasikan kembali dengan tambahan komentar di dinding akun Medsosnya sendiri.
Tak berapa lama dinding akun medsos-nya langsung dibanjiri komentar pro dan kontra. Sebelum berita keberadaan agama Malesung itu muncul sempat pula ada postingan teman saya yang memberi selamat kepada seorang penghayat agama Malesung yang baru saja selesai mengganti data agamanya di Kartu Keluarga (KK) dan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Dia kini resmi tercatat di instansi terkait sebagai penghayat ajaran Malesung. Postingan temanku itu juga disarati dengan tanggapan positif dan negatif.
Yang ingin saya bahas lebih jauh disini adalah soal komentar seseorang yang menyarankan kepada penghayat agama Malesung (apabila dia dulunya seorang Kristen) agar segera memberitahu dengan surat pernyataan kepada pimpinan organisasi gereja (organisasi agama lain) soal kepindahannya itu. Menurutnya, supaya bila si penghayat agama Malesung itu meninggal dunia, dia tidak diurus lagi (diritualkan) menurut cara agama Kristen.
Saran itu tentulah saya anggap baik. Demi kelancaran proses pemakaman si penghayat itu nanti bila dia wafat. Dan mudah-mudahan itu bukan merupakan luapan emosi yang terkesan hukuman untuk menjauhi si penghayat karena kini dia telah "murtad" atau berbeda keyakinan dengannya.
Di satu sisi, komentar yang agak sinis itu juga membuat saya sebagai penghayat berpikir. Memang jumlah penghayat Malesung tidaklah besar dari segi kuantitas. Ketersediaan rohaniwan tak banyak. Dan tentu jasad penghayat Malesung harus diibadahkan sesuai keyakinannya oleh rohaniwan yang seagama dengannya. Tapi bagaimana kalau si penghayat adalah satu-satunya anggota keluarga yang menganut agama Malesung? Bisakah dia diupacarai dengan cara agama lain? Tentu saja tidak boleh juga. Yang jadi soal nanti adalah isi khotbah rohaniwan yang berbeda keyakinan dengan si mayat. Tentu akan sulit dia berkhotbah atau memberi kesaksian iman tanpa harus "menghakimi" agama dari si penghayat yang telah meninggal dunia itu.
Jika anggota keluarga si penghayat ini beragama Kristen tentu saja ibadah di sekitar pemakaman bisa dilakukan. Tapi bentuk ibadahnya adalah ibadah penghiburan kepada keluarga yang ditinggalkan. Bukan upacara penghentaran jenasah. Selebihnya, biarlah upacara dilakukan oleh oknum pemerintah setempat dengan memperlakukan jenasah sebagai anggota masyarakat. Sebagaimana upacara militer yang tak menonjolkan agama si yang meninggal dunia melainkan karena dia dianggap sebagai bagian dari organisasi militer. Atau sebagaimana seorang guru dia diupacarai sebagai sebagai seorang guru.
Hal lain yang bisa dilakukan adalah menghubungi pimpinan organisasi yang memayungi para penghayat agama atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dalam hal ini adalah Majelis Luhur Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa (MLKI) setempat. Dan kalaupun tak ada, ya tak usah repot-repot berpikir, kuburkan saja sebagaimana layaknya manusia dimakamkan. Hewan saja ada yang dikuburkan dengan penuh hormat. Kenapa manusia tidak?
Tak berapa lama dinding akun medsos-nya langsung dibanjiri komentar pro dan kontra. Sebelum berita keberadaan agama Malesung itu muncul sempat pula ada postingan teman saya yang memberi selamat kepada seorang penghayat agama Malesung yang baru saja selesai mengganti data agamanya di Kartu Keluarga (KK) dan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Dia kini resmi tercatat di instansi terkait sebagai penghayat ajaran Malesung. Postingan temanku itu juga disarati dengan tanggapan positif dan negatif.
Yang ingin saya bahas lebih jauh disini adalah soal komentar seseorang yang menyarankan kepada penghayat agama Malesung (apabila dia dulunya seorang Kristen) agar segera memberitahu dengan surat pernyataan kepada pimpinan organisasi gereja (organisasi agama lain) soal kepindahannya itu. Menurutnya, supaya bila si penghayat agama Malesung itu meninggal dunia, dia tidak diurus lagi (diritualkan) menurut cara agama Kristen.
Saran itu tentulah saya anggap baik. Demi kelancaran proses pemakaman si penghayat itu nanti bila dia wafat. Dan mudah-mudahan itu bukan merupakan luapan emosi yang terkesan hukuman untuk menjauhi si penghayat karena kini dia telah "murtad" atau berbeda keyakinan dengannya.
Di satu sisi, komentar yang agak sinis itu juga membuat saya sebagai penghayat berpikir. Memang jumlah penghayat Malesung tidaklah besar dari segi kuantitas. Ketersediaan rohaniwan tak banyak. Dan tentu jasad penghayat Malesung harus diibadahkan sesuai keyakinannya oleh rohaniwan yang seagama dengannya. Tapi bagaimana kalau si penghayat adalah satu-satunya anggota keluarga yang menganut agama Malesung? Bisakah dia diupacarai dengan cara agama lain? Tentu saja tidak boleh juga. Yang jadi soal nanti adalah isi khotbah rohaniwan yang berbeda keyakinan dengan si mayat. Tentu akan sulit dia berkhotbah atau memberi kesaksian iman tanpa harus "menghakimi" agama dari si penghayat yang telah meninggal dunia itu.
Jika anggota keluarga si penghayat ini beragama Kristen tentu saja ibadah di sekitar pemakaman bisa dilakukan. Tapi bentuk ibadahnya adalah ibadah penghiburan kepada keluarga yang ditinggalkan. Bukan upacara penghentaran jenasah. Selebihnya, biarlah upacara dilakukan oleh oknum pemerintah setempat dengan memperlakukan jenasah sebagai anggota masyarakat. Sebagaimana upacara militer yang tak menonjolkan agama si yang meninggal dunia melainkan karena dia dianggap sebagai bagian dari organisasi militer. Atau sebagaimana seorang guru dia diupacarai sebagai sebagai seorang guru.
Hal lain yang bisa dilakukan adalah menghubungi pimpinan organisasi yang memayungi para penghayat agama atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dalam hal ini adalah Majelis Luhur Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa (MLKI) setempat. Dan kalaupun tak ada, ya tak usah repot-repot berpikir, kuburkan saja sebagaimana layaknya manusia dimakamkan. Hewan saja ada yang dikuburkan dengan penuh hormat. Kenapa manusia tidak?
Comments
Post a Comment