Setelah Wangko Ne Parepey dikalahkan kisah Tumalun pun masih berlanjut. Penduduk bergembira karena musuh mereka yang selalu mengganggu
ketenteraman penduduk telah meninggal. Setahun kemudian terdengarlah
berita bahwa di sebelah Utara (Sekitar kota Madya Manado sekarang ini)
banyaklah penduduk yang tewas di tangan Mamangkey. Hal itu disebabkan
karena mereka itu meliwati batas kekuasaannya.
Banyak
penduduk yang berdiam di sekitarnya berusaha untuk mencari seseorang
yang sakti yang dapat membunuh Mamangkey. Tetapi usaha mereka itu
sia-sia saja. Berita itu tersiar luas di daerah Minahasa sehingga dapat
didengar oleh Tumalun. Supaya ia dapat mendekati lawannya yang baru itu
maka iapun mengajak seluruh pengikutnya pergi ke puncak gunung Empung.
Disitu ia membuat pondoknya untuk tempat tinggalnya.
Mamangkey
mendirikan pondoknya pada sebuah hutan (dekat kota Pineleng sekarang
ini). Para pengikutnya banyak yang benar. Pekarangan tempat tinggal
tidak pernah disapu. Ia melarang para pengikutnya menyapu pekarangan itu
karena dengan adanya daun-daun kering di sekitar pondoknya ia dapat
mendengar seseorang yang berniat jahat terhadap dirinya.
Pada
suatu hari Tumalun keluar dari pondoknya menuju ke arah Utara. Siapa
saja yang berjumpa dengan dia ditanyakannya tentang tempat tinggal
lawannya. Setelah diketahuinya iapun mulai menyelidikinya. Ia pergi pada
malam hari di waktu bulan purnama. Setelah penyelidikannya selesai
iapun kembali ke pondoknya. Seminggu kemudian iapun memerintahkan
beberapa anak buahnya menyediakan buluh panjang. Buluh-buluh itu harus
diisi dengan air.
Para
pengikutnya hanya menuruti saja meskipun mereka itu tidak mengetahui
apa maksudnya. Kemudian iapun menunggu saat yang baik untuk membunuh
lawannya. Hari itu malam gelap gulita. Ia sedang bercakap-cakap dengan
para pengikutnya. Tiba-tiba ia mendengar burung Manguni berbunyi
sembilan kali. Bunyi burung itu menandakan bahwa ia akan mendapat
kemenangan kalau bertemu dengan lawannya.
Malam
itu juga ia mengajak beberapa pengikutnya agar supaya ikut bersamanya
dengan membawa buluh yang berisi air. Tengah malam baharulah mereka itu
tiba di tempat tinggal lawannya. Kemudian ia menyuruh para pengikutnya
menyiram daun-daun kering di sekitar pondok lawannya dengan air yang
telah disediakan lalu iapun masuk ke dalam pondok tersebut.
Setelah
ia tiba di balai-balai tempat tidur lawannya, diangkatnya goloknya lalu
dipotongnya leher lawannya. Kepala lawannya itu dijinjingnya lalu
diajaknya para pengikutnya itu pulang dengan segera. Di dalam
perjalanannya pulang, tetesan darah dari kepala lawannya itu dilumurinya
pada cabang-cabang dan daun-daun pohon, lalu kepala dari lawannya itu
dikuburkannya di samping pondoknya.
Pagi
hari pada keesokan harinya para pengikut Mamangkey terkejut melihat
pemimpin mereka itu tidak berkepala lagi. Mereka itupun segera mencari
jejak pembunuhnya. Setelah dapat jejak itupun diikuti mereka. Tetapi
setelah mereka melihat cabang-cabang dan daun-daun pohon yang mereka
lalui itu telah berlumur dengan darah, mereka segera menjadi takut lalu
mereka itu lari pontang-panting pulang ke pondok mereka.
Mulai
pada saat itu tidak kedengaran lagi beritanya. Tumalun amat gembira
karena kemanapun ia pergi tidak ada lagi orang yang dapat menandingi
kekuatannya. Akhirnya diajaknya semua pengikutnya itu pulang ke tempat
tinggal keluarga mereka masing-masing.
Ketika
Tumalun tiba di pondoknya, ia disambut oleh isteri dan kedua anaknya.
Pada suatu hari ketika matahari telah condong ke Barat datanglah seorang
pemuda tampan ke pondoknya. Ia bernama Kumayas yang sudah dikenal baik
oleh isterinya dan kedua anaknya. Tumalun belum mengenalnya, sehingga
pemuda tersebut diperkenalkan oleh Kawulanan anaknya yang bungsu.
Dikatakannya
bahwa pemuda itu bernama Kumayas dan bermaksud hendak melamar kakaknya
Mawikit untuk menjadi isterinya. Muka Mawikit yang tidak jauh berdiri
dari tempat itu menjadi kemerah-merahan karena malu. Ia segera
menundukkan kepalanya dan tidak bergerak bagaikan seorang narapidana
yang akan menunggu putusan untuk dihukum.
Mendengar
perkataan anaknya yang bungsu, Tumalun segera memandang pemuda itu dari
kepada hingga ke kaki. Pandangannya itu dialihkan kepada Mawikit
anaknya yang sulung. Ia segera mengetahui bahwa kedua unsan tersebut
telah memadu cinta yang tidak boleh dipisahkan oleh siapapun juga.
Ia
amat sayang kepada kedua anaknya. Untuk memilih jodoh ia tidak mau
kalau anaknya mempunyai suami yang lemah. Ia bermaksud agar supaya kedua
anaknya itu bersuamikan orang yang gagah perkasa, berbudi luhur dan
mempunyai kekuatan yang sakti seperti dirinya.
Malam
itu Mawikit tidak tidur. Wajah kekasihnya selalu terbayang-bayang di
hadapannya. Ia belum tahu benar tentang hati ayahnya, karena pemuda
idamannya itu belum mendapat jawaban yang pasti dari ayahnya. Ia telah
berpikir semasak-masaknya pada malam itu, bahwa ia hendak menerjunkan
dirinya ke dalam jurang kalau lamaran pemuda idamannya itu ditolak oleh
ayahnya.
Seminggu
kemudian Tumalun melihat tingkah laku Mawikit telah berobah. Ia tidak
selincah dahulu dan tidak pernah lagi keluar pondoknya. Tubuhnya telah
menjadi kurus dan jarang benar ia makan. Melihat keadaan anaknya
demikian iapun segera memanggil seorang kepercayaannya untuk memanggil
Kumayas datang ke pondoknya pada hari itu juga. Lepas tengah hari
baharulah Kumayas itu tiba di pondoknya. Tumalun segera mengajak Kumayas
mengikuti dirinya.
Tiba
di sebuah bukit yang ditumbuhi oleh pahan-pahan kayu yang besar mereka
itu berhenti. Disitu Tumalun mengatakan bahwa ia hanya memberikan
anaknya menjadi isterinya kalau ia dapat menatang pohon besar yang
sebentar lagi akan dirobohkan kepadanya. Kumayas menyetujui usulnya,
lalu iapun berdiri di tempat yang ditunjukkan oleh Tumalun. Ketika
Kumayas berpaling ke belakang dilihatnya bahwa tidak jauh dari tempatnya
berdiri ada sebuah tunggul kayu besar, bekas dipotong orang. Kayu itu
telah dilindungi oleh rumput-rumputan sehingga tidak jelas kelihatan
dari tempat yang jauh.
Setelah
Tumalun melihat bahwa Kumayas tidak kurang suatu apa bahkan dapat
menatang pohon besar itu yakinlah Tumalun bahwa Kumayas itu mempunyai
kekuatan yang melebihi dirinya. Tidak diketahuinya bahwa Kumayas hanya
pura-pura saja menatang pohon itu karena waktu terjatuh pohon itu
mengenai tunggul kayu besar bekas dipotong, sehingga tidak sampai ke
tanah.
Tumalun
sangat gembira karena cita-citanya untuk bermenantukan orang yang sakti
telah terkabul. Sebulan kemudian Mawikit anaknya yang sulung itu
dinikahkannya dengan Kumayas. Setelah Tumalun berumur 85 tahun iapun
meninggal. Pendudukpun bersatu padu dan memilih Kumayas itu sebagai
penggantinya. Karena tempat pemukiman mereka itu selalu diganggu oleh
suku bangsa Mindanau dan Bolaang Mongondouw maka atas anjurannya mereka
mencari tempat pemukiman yang baru di sebelah Barat. Disitu mereka mulai
mendirikan rumah. Di bawah pimpinannya maka penduduk saling
tolong-menolong dan kasih mengasihi satu sama lain.
Setelah
ia meninggal maka penduduk membuat sebuah waruga dan jenazahnya
dimasukkan dan didudukkan di dalamnya. Sampai sekarang waruga itu masih
ada dan terdapat di desa Sawangan Kecamatan Kombi. Tumalun dan Tawaluyan
adalah orang yang sama. Tumalun biasa diucapkan oleh penduduk Tondano.
Tawaluyan biasa diucapkan oleh penduduk Kecamatan Kombi.
*
Sumber: Buku album Minahasa Tanah Tercinta. Si Tou Timou Tumou Tou yang
dikutip dari catatan yang tersimpan di Kandepdikbud. Kec. Kombi -
Penutur cerita adalah G.M. Limpele.
Comments
Post a Comment