Kebijaksanaan Apo Muntu-untu

Apo atau Opo Muntu-untu adalah penjaga langit Kasendukan, tempat majelis para Apo atau Opo yang menetap maupun bertugas mulai dari langit Kasendukan ke bawah sampai ke dalam tanah Kaengkolan. Apo atau Opo Muntu-untu melambangkan kearifan dan dia disebut bagaikan matahari yang memberi pancaran keadilan. Dia disebut hukum dan peraturan.

Apo atau Opo Muntu-untu adalah pemimpin atau ketua dari majelis para Apo atau Opo. Dia adalah juga hakim yang adil di pengadilan Kasendukan. Melalui lantai tempatnya di Kasendukan, Apo atau Opo Muntu-untu melihat dan mengawasi kayobaan Malesung. Dengan tongkat pengukurnya magirot, dia mengukur dan memberi kekuatan serta bantuan sesuai kebutuhan bagi manusia yang memohon bantuan pertolongan.

Ada satu cerita yang bisa menggambarkan sebijaksana apa Apo atau Opo Muntu-untu itu. Ceritanya seperti di bawah ini.

Suatu ketika seekor Kalowatang atau babi hutan berjalan-jalan di tengah hutan. Sudah seharian dia mencoba mencari-cari makanan tapi tak kunjung memperolehnya. Lalu dia bertemu Tu'a atau seekor sapi hutan yang tengah beristirahat di bawah pohon besar. Muncul suatu rencana curang dalam diri Kalowatang demi mengusir rasa laparnya.

Berbekal rencana jahatnya, berkatalah Kalowatang kepada Tu'a itu, "Haruslah kau jadi makananku. Karena aku telah memakan mu di dalam mimpi tadi malam." 

Dengan kaget si Tu'a memprotes. Mana mungkin mimpi bisa jadi dasar legitimasi bagi Kalowatang untuk menjadikan dia sebagai santapan.

Mereka pun berdebat hingga berapa lama. Tanpa mereka sadari, ada Wolai atau seekor monyet sedang mengikuti percakapan mereka dari awal. Tapi Wolai tak tergesah-gesah menyingkapkan keberadaan dirinya pada mereka. Dia ingin melihat apa yang akan terjadi setelah itu. 

Kalowatang dan Tu'a terus saja berdebat. Kemudian, berkatalah Tu'a, "Mari kita pergi menghadap si Tumotongko', si tona'as. Dialah yang akan menjadi hakim di antara kita."

Karena barangkali Kalowatang merasa para tona'as itu bodoh dan teman dekatnya, dia pun mengiyakan saran Tu'a. Mereka pun segera berangkat menuju tempat para tona'as bertemu untuk memutuskan sesuatu soal. Diam-diam si Wolai mengikuti mereka dari belakang dengan memanjat pohon-pohon.

Tibalah mereka di tempat para binatang yang diangkat masyarakat hutan sebagai hakim mereka. Tu'a pun menceritakan duduk perkara antara dia dan Kalowatang. Setelah mendengar semuanya berkatalah Tumotongko, si tona'as itu, "Kalau begitu, Kalowatang dipersilahkan melahap Tu'a. Jadilah seperti mimpi Kalowatang."

Bersukacitalah Kalowatang. Sebaliknya Tu'a menjadi murung dan ketakutan. Dia mencoba lagi berargumen untuk membela diri. Tapi menurut para tona'as palsu itu dia tetap salah dan harus menerima nasib. Kalowatang pun siap menerkamnya hidup-hidup.

Sekonyong-konyong melompatlah Wolai ke tengah-tengah kerumuman orang. Semua kaget. Wolai pun berkata, "Saya juga punya mimpi. Tadi malam saya bermimpi kawin dengan putri dari salah satu tona'as di kerumunan ini. Maka dari itu, berikan kepada saya putri anda."

Si Tumotongka, tona'as palsu yang memiliki seorang putri yang cantik itu tak rela anaknya dinikahi oleh Wolai. Tumotongko protes. Dia berkata, "Sangat tidak masuk di akal! Mana mungkin hanya karena kau sudah bermimpi kawin dengan putriku, lalu kau sudah bisa meminang dia. Ini gila!"

Berkatalah Wolai juga, "Lalu mengapa aturan mimpi ini berlaku pada Tu'a?"

Tanpa berlama Tumotongko pun berkata, "Sebagaimana Wolai tidak boleh menikahi putriku dengan hanya berdasarkan mimpi, begitulah kiranya Kalowatang tidak bisa memakan Tu'a. Keputusan sudah diambil. Dan tidak bisa diganggu gugat. Sidang ini selesai. Bubar."

Wolai, Kalowatang, Tu'a dan Tumotongko dalam ceritera di atas adalah binatang. Tapi karakter mereka manusia. Mungkin cerita ini adalah fakta. Namun si pencerita menyamarkan nama-nama mereka untuk menghindari hal-hal buruk. Tapi yang pasti si pencerita menyampaikan pesan bahwa kita jangan meniru karakter Kalowatang dan Tumotongko yang mengorbankan pihak lain demi perut dan kenyamanan semata.

Cerita itu mengajarkan kepada kita agar menjadi saksi dan hakim yang benar seperti Wolai. Dengan kebijaksanaan dia membela yang benar secara adil.

Comments