Kembali Ke Jatidiri, Ke Agama Malesung

Adalah keliru bila masih terus-menerus meyakini  dan mempropagandakan bahwa kedatangan dan pengenalan injil telah membawa keselamatan di tanah Malesung atau Minahasa. Dengan kata lain, mereka menganggap bahwa semua orang Minahasa yang tak sempat mengenal kekristenan pada zaman dahulu itu, pasti masuk neraka.

Pikiran dan anggapan ini adalah warisan para misionaris atau penginjil sejak zaman penjajahan. Sadar atau tidak sadar, klaim yang mereka bangun itu menjadi bumerang (senjata makan tuan) bagi Kekristenan. Sebab, kalau memang ajaran dan pandangan itu benar, berarti Tuhan telah mengabaikan ribuan orang. Mengapa selama ratusan atau ribuan tahun orang-orang Minahasa dibiarkan tanpa mengenal Tuhan yang benar? Rasanya keliru jika meyakini bahwa nanti pada kedatangan injil baru keselamatan ada pada orang Minahasa.
Sejatinya, sebelum kedatangan bangsa Eropa dengan kebudayaan agama Kristen Katolik dan Kristen Protestan, orang Minahasa tidak merasa miskin dan kekurangan apa pun yang berarti. Tantangan hidup, konflik antara kelompok bisa dihadapi dengan berbekal kekayaan alam yang melimpah dan anugerah Empung Wailan Wangko atau Tuhan Yang Maha Kuasa. Mereka hidup sebagaimana kebiasaan pada waktu itu. Mereka bertahan hidup dengan kearifan lokal turun-temurun warisan leluhur. Artinya di zaman itu mereka menerima keberadaan mereka dan bisa menikmati hidup. Ini bermakna bahwa sebelum kedatangan kekristenan, Tuhan Yang Maha Kuasa telah sedari awal menyertai dan memberkati umat Malesung. Karena Dia Yang Maha Pengasih selalu melihat (manembo), mendengar (manalinga) dan senantiasa berada di sisi (renga-rengan) umat Malesung.

Tujuan orang-orang Eropa mengenalkan teknologi, agama Kristen, pendidikan Barat kepada orang Minahasa adalah untuk membuat orang Minahasa merasa miskin, bodoh dan terkebelakang. Dengan gigih mereka berupaya menjatuhkan rasa percaya diri dan mencabik-cabik penduduk Minahasa agar mudah dijajah, ditaklukan dan diperintah. Awalnya mereka datang menawarkan persahabatan dalam hubungan dagang. Kemudian mereka memanfaatkan para penginjil untuk menawarkan pendidikan sebagai program cuci otak. Lalu, orang-orang Minahasa yang disekolahkan oleh mereka ini diberikan jabatan dan digunakan sebagai aparat (alat kekuasaan) kolonial atau penjajahan. Pada tahap berikutnya mereka membawa militer atau tentara. Jadi, orang-orang Eropa ini mulai dengan berpura-pura menjadi teman, menawarkan bantuan. Begitu semua digenggam, orang Minahasa pun jadi orang-orang terjajah dan masuk dalam lingkaran setan.

Sebelum kedatangan penjajah Eropa, bangsa Minahasa sudah mengikrarkan persatuan sebagai akibat keretakan di dalam dan rongrongan dari luar. Sudah menyepakati soal awuhan (wilayah pemukiman), posan (agama) dan nuwu' (bahasa) di Watu Pinawetengan. Era baru siap dilanjutkan. Sayangnya, bangsa Eropa datang. Mereka membawa agama Kristen, menyingkirkan pemimpin agama Malesung dan menggantinya dengan pendeta-pendeta Eropa. Pendidikan di Papendangan mereka rusaki. Dan memberikan "pendidikan" baru yang lebih pada menciptakan budak-budak kolonial Belanda.

Orang Minahasa pun terpecah-belah kepercayaannya. Bingung memilih antara menjadi penganut agama Malesung, Katolik atau Protestan. Golongan agama dan gereja lain masuk. Tambah pecah lagi. Tanah mereka direbut dengan kekuasaan. Bahasa mereka perlahan dimusnahkan. Tidak sedikit nyawa yang melayang ketika penjajah itu menggerogoti Minahasa. Harga diri kita diinjak-injak dan dihina. 

Akan tetapi, betapa pun kelam sejarah penjajahan itu, kita sering dibuat lupa dengan cerita-cerita  soal "jasa-jasa" para penjajah itu. Mereka bilang mereka yang mengajarkan kita baca tulis, berpakaian layak, sopan santun dan kemajuan. Kita pun terhipnotis dan menyetujui penjajahan yang bengis dan tidak manusiawi itu. Kita menjadi hilang ingatan. Kita tidak lagi mengingat bahwa mereka juga datang demi emas (gold) dan penguasan dunia (glory). Kita hampir lupa bahwa mereka tidak datang membawa perdamaian sebagaimana ajaran agama mereka. Melainkan mereka membawa senjata dan peperangan besar lewat politik aduh-domba.

Lalu, bagaimana sekarang? Kita sudah sadar dari semua bentuk cuci otak mereka. Maka, sudah saatnya kita meninggalkan segala ideologi agama luar yang telah membodohi kita selama ini. Ideologi yang membuat kita benci kepada leluhur kita, tradisi kita dan jatidiri kita. Kita harus meninggalkan ideologi agama mereka. Ajaran yang secara tak langsung membuat kita percaya bahwa sebelum kedatangan orang-orang Eropa, Tuhan mengabaikan kita dan membiarkan kita terjerumus ke jurang neraka.

Saatnya kembali ke akar, ke jatidiri kita sebenarnya. Jangan lagi percaya pada serigala berbulu domba, para penjajah itu.

Comments