Rahayu, Siriwangko, Tabea...
Perkenalkan namaku Rondornuwu. Ini bukan nama asliku. Kelak, bila sudah pas waktunya akan kuberitahukan. Tapi bagi orang-orang yang mengenal aku secara akrab, bisa menebak siapa aku hanya dengan membaca tulisan ini.
Saya lahir dan tumbuh menjadi dewasa di desa Tondei. Desa yang terletak di antara pegunungan Lolombulan dan Sinonsayang ini berada dalam Kecamatan Motoling Barat Kabupaten Minahasa Selatan Provinsi Sulawesi Utara.
Saya dulunya beragama Kristen Protestan. Sejak kecil, tanpa persetujuan saya, orangtuaku sudah menentukan agama Kristen Protestan sebagai agama saya. Mereka tentu tak bisa disalahkan atas tindakan itu. Memang, sejak lahir negara rupanya sudah memaksa rakyatnya harus beragama. Walaupun orang itu belum tahu apa itu agama dan agama mana yang paling cocok untuknya.
Sejujurnya, sejak kecil saya telah mengetahui bahwa para leluhur keluarga saya, sebelum kekristenan, memeluk agama yang lain dari kekristenan. Agama asli Minahasa atau agama Malesung. Saya akhirnya tahu itu karena cerita-cerita keluhuran budi dan kemuliaan perilaku leluhur yang berulang-ulang dikisahkan oleh ayahku. Waktu itu cerita-cerita itu masih saya anggap dongeng belaka.
Banyak anggota keluargaku di desaku, meski telah beragama Kristen Protestan di Kartu Tanda Penduduk (KTP), masih menggelar ibadah atau ritual agama warisan leluhur itu dekat rumah kami pada saat bulan purnama. Kadang pula dilaksanakan jauh dari pemukiman dengan alasan untuk menghindari tekanan masyarakat lain yang juga beragama Kristen Protestan. Tradisi berkumpul bulanan itu disebut Meru En Ubat atau Maso' En Sico'o.
Dari kecil hingga dewasa saya barangkali termasuk adalah anak yang taat beribadah. Kedua orangtuaku dan nenek-kakek di pihak ibu sangat bersemangat mendorong saya untuk giat selalu dalam menjalankan ajaran agama Kristen Protestan. Tak heran karakter saya dibentuk dengan landasan moral dan etika kekristenan. Barangkali, karena dianggap layak oleh umat, saya bahkan sampai memegang jabatan ketua kaum muda gereja dan bisa menduduki posisi sekretaris umat di kampungku. Itu merupakan pengalaman yang banyak memberi pelajaran.
Lalu mengapa saya akhirnya kembali memeluk agama leluhur, agama Malesung?
Harus saya akui bahwa karakter dan perilaku saya telah banyak dibentuk melalui pertemuan-pertemuan program gereja dan penelusuran secara mandiri pada kitab suci agama yang dibawa oleh penginjil orang-orang Eropa itu.
Namun, saya kemudian terus mencari keluhuran-keluhuran ajaran warisan para leluhur Minahasa, dan akhirnya jatuh cinta dengan kesederhanaan agama Malesung itu. Pengembaraan mendalam saya terhadap cerita-cerita agung leluhur mendorong saya mengikuti ritual atau ibadah bulanan yang disebut Meru En Ubat itu. Ritual atau ibadah bulanan itu dipimpin oleh paman saya. Semakin sering saya berpartisipasi, semakin sering saya merenung. Saya kemudian memutuskan menganut ajaran agama Malesung pada 24 Desember 2015. Sehari sebelum Hari Natal. Saya kemudian merasa nyaman. Kenyamanan oleh karena kesederhanaan ibadah-ibadahnya dan perasaan kedekatan pada budaya dan tradisi. Saya merasa lebih nyaman dengan agama yang berasal dari tanah sendiri. Kira-kira begitu.
Waktu itu, meski saya sudah nyaman dengan agama leluhur itu, saya masih ke gereja satu-dua kali. Sebab, saya meyakini bahwa saya tidak berpindah percaya pada Tuhan lain. Hanya cara dan komunitas saja yang berbeda. Di kemudian hari, saya memberitahukan pandangan hidup baru saya itu kepada orangtua saya. Saya secara terang-terangan menyampaikan maksud saya untuk secara sungguh-sungguh mengganti agama atau kepercayaan saya di KTP. Dari agama Kristen ke Agama Malesung. Orangtuaku tampak kaget dan tidak bahagia dengan pengakuan saya itu. Tapi mereka menghormati keputusan saya. Mereka toleran dan tidak memusuhi saya.
Sejatinya sejak tahun 2018 saya sudah mulai mempersiapkan berkas-berkas terkait penggantian data agama saya, untuk diserahkan ke kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) Kabupaten Minahasa Selatan. Agar data agama saya di KTP dan Kartu Keluarga (KK) sesuai dengan yang sebenarnya. Tapi cita-cita tersebut nanti terwujud pada 4 Maret 2020, saat saya sudah menikah dan bermukim di Kabuaten Minahasa. Saya tidak mengalami kesulitan berarti saat pengurusannya di Kabupaten Minahasa. Hanya saja, karena belum di-update-nya aplikasi pencetakan blangko KTP sedikit lama.
Lantas, apakah keluarga besar saya memperlakukan secara berbeda karena telah berpindah keyakinan agama?
Secara umum saya tidak mengalami itu. Memang, ada satu dua orang, yang karena kekurangtahuan, sempat menekan saya. Namun, ketika hadir dalam acara-acara keluarga, saya tetap dihargai dan dihormati. Bahkan mereka agak hati-hatiketika bicara topik agama di dekat saya. Mereka barangkali khawatir bila itu memunculkan ketidaknyamanan bahkan ketidakrukunan dalam hubungan keluarga.
Minahasa, 3 April 2020
Perkenalkan namaku Rondornuwu. Ini bukan nama asliku. Kelak, bila sudah pas waktunya akan kuberitahukan. Tapi bagi orang-orang yang mengenal aku secara akrab, bisa menebak siapa aku hanya dengan membaca tulisan ini.
Saya lahir dan tumbuh menjadi dewasa di desa Tondei. Desa yang terletak di antara pegunungan Lolombulan dan Sinonsayang ini berada dalam Kecamatan Motoling Barat Kabupaten Minahasa Selatan Provinsi Sulawesi Utara.
Saya dulunya beragama Kristen Protestan. Sejak kecil, tanpa persetujuan saya, orangtuaku sudah menentukan agama Kristen Protestan sebagai agama saya. Mereka tentu tak bisa disalahkan atas tindakan itu. Memang, sejak lahir negara rupanya sudah memaksa rakyatnya harus beragama. Walaupun orang itu belum tahu apa itu agama dan agama mana yang paling cocok untuknya.
Sejujurnya, sejak kecil saya telah mengetahui bahwa para leluhur keluarga saya, sebelum kekristenan, memeluk agama yang lain dari kekristenan. Agama asli Minahasa atau agama Malesung. Saya akhirnya tahu itu karena cerita-cerita keluhuran budi dan kemuliaan perilaku leluhur yang berulang-ulang dikisahkan oleh ayahku. Waktu itu cerita-cerita itu masih saya anggap dongeng belaka.
Banyak anggota keluargaku di desaku, meski telah beragama Kristen Protestan di Kartu Tanda Penduduk (KTP), masih menggelar ibadah atau ritual agama warisan leluhur itu dekat rumah kami pada saat bulan purnama. Kadang pula dilaksanakan jauh dari pemukiman dengan alasan untuk menghindari tekanan masyarakat lain yang juga beragama Kristen Protestan. Tradisi berkumpul bulanan itu disebut Meru En Ubat atau Maso' En Sico'o.
Dari kecil hingga dewasa saya barangkali termasuk adalah anak yang taat beribadah. Kedua orangtuaku dan nenek-kakek di pihak ibu sangat bersemangat mendorong saya untuk giat selalu dalam menjalankan ajaran agama Kristen Protestan. Tak heran karakter saya dibentuk dengan landasan moral dan etika kekristenan. Barangkali, karena dianggap layak oleh umat, saya bahkan sampai memegang jabatan ketua kaum muda gereja dan bisa menduduki posisi sekretaris umat di kampungku. Itu merupakan pengalaman yang banyak memberi pelajaran.
Lalu mengapa saya akhirnya kembali memeluk agama leluhur, agama Malesung?
Harus saya akui bahwa karakter dan perilaku saya telah banyak dibentuk melalui pertemuan-pertemuan program gereja dan penelusuran secara mandiri pada kitab suci agama yang dibawa oleh penginjil orang-orang Eropa itu.
Namun, saya kemudian terus mencari keluhuran-keluhuran ajaran warisan para leluhur Minahasa, dan akhirnya jatuh cinta dengan kesederhanaan agama Malesung itu. Pengembaraan mendalam saya terhadap cerita-cerita agung leluhur mendorong saya mengikuti ritual atau ibadah bulanan yang disebut Meru En Ubat itu. Ritual atau ibadah bulanan itu dipimpin oleh paman saya. Semakin sering saya berpartisipasi, semakin sering saya merenung. Saya kemudian memutuskan menganut ajaran agama Malesung pada 24 Desember 2015. Sehari sebelum Hari Natal. Saya kemudian merasa nyaman. Kenyamanan oleh karena kesederhanaan ibadah-ibadahnya dan perasaan kedekatan pada budaya dan tradisi. Saya merasa lebih nyaman dengan agama yang berasal dari tanah sendiri. Kira-kira begitu.
Waktu itu, meski saya sudah nyaman dengan agama leluhur itu, saya masih ke gereja satu-dua kali. Sebab, saya meyakini bahwa saya tidak berpindah percaya pada Tuhan lain. Hanya cara dan komunitas saja yang berbeda. Di kemudian hari, saya memberitahukan pandangan hidup baru saya itu kepada orangtua saya. Saya secara terang-terangan menyampaikan maksud saya untuk secara sungguh-sungguh mengganti agama atau kepercayaan saya di KTP. Dari agama Kristen ke Agama Malesung. Orangtuaku tampak kaget dan tidak bahagia dengan pengakuan saya itu. Tapi mereka menghormati keputusan saya. Mereka toleran dan tidak memusuhi saya.
Sejatinya sejak tahun 2018 saya sudah mulai mempersiapkan berkas-berkas terkait penggantian data agama saya, untuk diserahkan ke kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) Kabupaten Minahasa Selatan. Agar data agama saya di KTP dan Kartu Keluarga (KK) sesuai dengan yang sebenarnya. Tapi cita-cita tersebut nanti terwujud pada 4 Maret 2020, saat saya sudah menikah dan bermukim di Kabuaten Minahasa. Saya tidak mengalami kesulitan berarti saat pengurusannya di Kabupaten Minahasa. Hanya saja, karena belum di-update-nya aplikasi pencetakan blangko KTP sedikit lama.
Lantas, apakah keluarga besar saya memperlakukan secara berbeda karena telah berpindah keyakinan agama?
Secara umum saya tidak mengalami itu. Memang, ada satu dua orang, yang karena kekurangtahuan, sempat menekan saya. Namun, ketika hadir dalam acara-acara keluarga, saya tetap dihargai dan dihormati. Bahkan mereka agak hati-hatiketika bicara topik agama di dekat saya. Mereka barangkali khawatir bila itu memunculkan ketidaknyamanan bahkan ketidakrukunan dalam hubungan keluarga.
Minahasa, 3 April 2020
Comments
Post a Comment