Langit Kasosoran
Langit Kasosoran dipimpin oleh Apo atau Opo Sumendap. Langit ini bersifat air dan tanah yang
membersihkan kehidupan. Adapun langit Kasosoran ini diselubungi kegelapan pekat
sepanjang masa.
Langit ini adalah batas antara alam nyata dan yang tak nyata. Maka disebutkan, di suatu
tempat dekat Tu’ur In Tana’ di tanah
Malesung ini dimana terdapat pegunungan, maka salah satu puncaknya adalah pintu
gerbang memasuki langit Kasosoran.
Maka mata manusia tidak dapat melihatnya
namun semua mu’kur atau muku’d akan melalui jalan pendakian ini
untuk meninggalkan kayoba'ang menuju
Kasosoran, baik mu’kur atau muku’d yang baik maupun yang bengkok.
Di dalam kegelapan yang pekat ini semua mu’kur
atau muku’d menetap untuk
beberapa lamanya, menunggu untuk diadili. Maka keadaan di tempat tersebut
adalah sangat sunyi, kecuali rintihan pelan penyesalan, karena merenungi
kehidupan mereka saat hidup sebagai manusia. Apo atau Opo Sumendap dengan Apo atau Opo pembantunya bertugas untuk membimbing dan
menguatkan para mu’kur atau muku’d untuk
menghadapi kenyataan yang ada.
Apo atau Opo Kumeindong dengan Apo atau Opo pembantunya disebut
sebagai penjaga pintu batas. Semua mu’kur
atau muku’d yang akan masuk ke
Kasosoran dikenakan kewajiban yang harus dipenuhi. Maka Apo atau Opo Kumeindong berhak menolak dia masuk bilamana mu’kur atau muku’d itu ditolak untuk masuk ke Kasosoran. Maka celakalah dia. Karena
dia akan mengembara dengan diberi beban dosa yang lebih berat.
Maka mereka yang mengembara akan mengalami dua hal, yakni semakin lama
mereka mengembara di alam kayoba'ang ini,
semakin besar kesalahan yang akan dituntut kepada mereka. Karena sembilan hari
mengembara di alam kayoba'ang sama
dengan menambah satu kali seluruh kesalahan atau dosa yang sudah diperbuat
semasa hidup sebagai manusia.
Mu’kur
atau muku’d yang masih mengembara
ini, masih terkena pengaruh kuasa-kuasa keseimbangan dari kesembilan Empung, baik langsung maupun melalui
kuasa tumbuhan awal. Mereka akan sama seperti manusia yang akan terus
menerus membuat kesalahan atau dosa. Dengan demikian, beban tuntutan kepada
mereka akan semakin berat. Mu’kur atau muku’d harus membayar suatu kewajiban.
Beberapa contoh adalah sebagaimana berikut. Bila dia semasa hidup banyak menipu atau memeras dan oleh karenanya menjadi
kaya, dia harus mengembalikan sebagian hartanya dan semakin banyak yang dia kembalikan,
semakin baik untuknya supaya diringankan.
Maka dia harus pula menyerahkan
sejumlah binatang persembahan untuk dibagikan kepada orang susah. Seorang kaya
yang lurus hidupnya dan banyak membantu sesamanya tidak dibebani pembayaran
kesalahan, namun bila dia memberikan binatang korban untuk dibagikan kepada
mereka yang susah, pasti keluarga yang ditinggalkan akan mendapat berkat yang
lebih baik.
Orang yang miskin dan hidup lurus, tidak dibebani apapun juga.
Namun bila mereka berusaha untuk memberi hewan korban, walaupun hanya seekor,
pasti keluarganya akan diberikan berkat hidup yang lebih baik. Dan lain-lain.
Maka harta pembayaran balas itu ditentukan oleh keluarga yang bersangkutan
terkecuali ada pesan khusus dari mu’kur atau muku’d bersangkutan melalui para walian kepada keluarganya yang
ditinggalkannya. Binatang korban untuk dibagikan, haruslah berjumlah
ganjil, yaitu satu, tiga, lima, tujuh dan sebanyak sembilan. Binatang
korban itu adalah babi. Ayam dapat pula dijadikan binatang korban. Adapun
segala sesuatu mengenai peraturan korban adalah menjadi wewenang para walian.
Menurut ketentuan yang sebenarnya, khusus untuk binatang persembahan babi,
ada ketentuan pembagiannya. Adapun hati babi, setelah dilihat tanda nasib, maka
bersama otak dan jantung serta paru-paru dibakar untuk persembahan kepada Empung Walian Wangko. Satu ruas paha
belakang untuk para walian. Dari bagian-bagian
lainnya yang sisa dibagikan kepada orang susah. Maka ini berlaku untuk satu
ekor babi. Maka untuk binatang persembahan lainnya berlaku hal yang sama.
Untuk binatang persembahan kecil seperti ayam berlaku pembagian per satu
ekor, yaitu seekor yang dipilih untuk melihat hatinya. Maka kepala, paru-paru,
jantung dan hati dibakar untuk persembahan kepada Empung Walian Wangko. Maka tiga ekor dipotong untuk dibagikan
kepada orang yang susah. Namun kepala, jantung, dan hati dibakar untuk Dia. Seekor
ayam dipotong dengan prosedur di atas dan menjadi milik walian.
Maka binatang ayam sebagaimana persembahan korban berjumlah paling kurang lima
ekor dan bilamana ingin dipersembahkan lebih, bertambah lima ekor dan
seterusnya, yaitu lima, sepuluh, lima belas, dua puluh dan seterusnya. Maka
lima belas ekor ayam sama nilainya dengan seekor babi sedang.
Adapun binatang babi yang dipakai untuk persembahan adalah babi berukuran
sedang atau peranggang dan bukan babi
tua. Bagi keluarga yang susah, tidak terkena kewajiban menyerahkan binatang
korban karena kesulitan hidup mereka sudah merupakan korban persembahan
sehari-hari di hadapan Dia. Namun bila mereka mengharapkan sesuatu perbaikan
dalam kehidupan, cukup memberi binatang korban sebanyak lima ekor ayam dengan
ketentuan di atas. Walaupun mereka susah, namun tiga ekor ayam yang dipotong
akan dibagikan kepada orang-orang susah lainnya.
Di samping itu, baik makanan yang dipersiapkan oleh tuan rumah maupun yang
dibawa oleh pihak keluarga untuk rumumping
atau mekaan, oleh tuan rumah akan
diambil sedikit dari masing-masing jenis dan dengan minuman yang ada, akan
diatur pada suatu tempat tersendiri untuk dipersembahkan kepada para Apo atau Opo, leluhur maupun mu’kur atau muku’d keluarga yang baru meninggal.
Hubungan ke atasnya adalah ke langit Kapataran dan Sinayawan maupun Kalawakan
atau Owakan dan Kasendukan. Semuanya untuk kepentingan calon mu’kur atau muku’d dan manusia yang akan berakhir masa hidupnya (Sinayawan)
dan proses selanjutnya dari mu’kur atau muku’d manusia yang sudah meninggal
untuk dituntut (Kalawakan atau owakan) yang akan dibela (Kapataran) dan diadili
(Kasendukan). Hubungan ke bawahnya adalah ke Kayobaan.
Selain tugas yang dapat dibaca di atas, terdapat pula tugas lainnya seperti
berikut ini. Apo atau Opo Sumendap berkuasa menggerakkan angin dari
keempat mata angin, serta mengatur peredaran musim. Bilamana Apo atau Opo Sinendenan adalah Apo atau Opo yang mengatur dan menciptakan air untuk
membasahi kayoba'ang Malesung, Apo atau Opo Sumendaplah yang akan
menggerakan air tersebut melalui kekuatan hembusan angin ke tempat-tempat yang
dibutuhkan. Apo atau Opo Sumendap yang disebut berkuasa atas angin juga
memberi pertolongan kepada manusia sesuai sifat kuasanya itu.
* Tulisan ini merupakan hasil kerja dari komisi
yang beranggotakan seluruh wakil dari kaum-kaum di tanah Minahasa untuk
menggali sejarah asal-usul, budaya termasuk hukum adat dan kepercayaan atau
agama masa lampau serta banyak hal-hal lainnya. Mereka mulai bekerja pada 8
Maret 1854 dan menyelesaikan tugas pada 25 Januari 1896 dengan hasil tiga
bundel terkait hukum adat Minahasa. Tulisan ini kemudian disusun ulang dan
diperbaharui bahasanya oleh beberapa orang. Termasuk yang terakhir, yang lebih
suka dipanggil dengan nama Natetomalesa.
Comments
Post a Comment