Mengenai Tingkap-Tingkap Langit (Bagian 4)

Langit Kasosoran

Langit Kasosoran  dipimpin oleh Apo atau Opo  Sumendap. Langit ini bersifat air dan tanah yang membersihkan kehidupan. Adapun langit Kasosoran ini diselubungi kegelapan pekat sepanjang masa. 

Langit ini adalah batas antara alam nyata  dan yang tak nyata. Maka disebutkan, di suatu tempat dekat Tu’ur In Tana’ di tanah Malesung ini dimana terdapat pegunungan, maka salah satu puncaknya adalah pintu gerbang memasuki langit Kasosoran. 

Maka mata manusia tidak dapat melihatnya namun semua mu’kur atau muku’d akan melalui jalan pendakian ini untuk meninggalkan kayoba'ang menuju Kasosoran, baik mu’kur atau muku’d yang baik maupun yang bengkok.

Di dalam kegelapan yang pekat ini semua mu’kur atau muku’d menetap untuk beberapa lamanya, menunggu untuk diadili. Maka keadaan di tempat tersebut adalah sangat sunyi, kecuali rintihan pelan penyesalan, karena merenungi kehidupan mereka saat hidup sebagai manusia. Apo atau Opo  Sumendap dengan Apo atau Opo  pembantunya bertugas untuk membimbing dan menguatkan para mu’kur atau muku’d untuk menghadapi kenyataan yang ada.

Apo atau Opo  Kumeindong dengan Apo atau Opo pembantunya disebut sebagai penjaga pintu batas. Semua mu’kur atau muku’d yang akan masuk ke Kasosoran dikenakan kewajiban yang harus dipenuhi. Maka Apo atau Opo  Kumeindong berhak menolak dia masuk bilamana mu’kur atau muku’d itu ditolak untuk masuk ke Kasosoran. Maka celakalah dia. Karena dia akan mengembara dengan diberi beban dosa yang lebih berat.

Maka mereka yang mengembara akan mengalami dua hal, yakni semakin lama mereka mengembara di alam kayoba'ang ini, semakin besar kesalahan yang akan dituntut kepada mereka. Karena sembilan hari mengembara di alam kayoba'ang sama dengan menambah satu kali seluruh kesalahan atau dosa yang sudah diperbuat semasa hidup sebagai manusia.  

Mu’kur atau muku’d yang masih mengembara ini, masih terkena pengaruh kuasa-kuasa keseimbangan dari kesembilan Empung, baik langsung maupun melalui kuasa tumbuhan awal. Mereka akan sama seperti manusia yang akan terus menerus membuat kesalahan atau dosa. Dengan demikian, beban tuntutan kepada mereka akan semakin berat. Mu’kur atau muku’d harus membayar suatu kewajiban. 

Beberapa contoh adalah sebagaimana berikut. Bila dia semasa hidup banyak menipu atau memeras dan oleh karenanya menjadi kaya, dia harus mengembalikan sebagian hartanya dan semakin banyak yang dia kembalikan, semakin baik untuknya supaya diringankan. 

Maka dia harus pula menyerahkan sejumlah binatang persembahan untuk dibagikan kepada orang susah. Seorang kaya yang lurus hidupnya dan banyak membantu sesamanya tidak dibebani pembayaran kesalahan, namun bila dia memberikan binatang korban untuk dibagikan kepada mereka yang susah, pasti keluarga yang ditinggalkan akan mendapat berkat yang lebih baik. 

Orang yang miskin dan hidup lurus, tidak dibebani apapun juga. Namun bila mereka berusaha untuk memberi hewan korban, walaupun hanya seekor, pasti keluarganya akan diberikan berkat hidup yang lebih baik. Dan lain-lain.

Maka harta pembayaran balas itu ditentukan oleh keluarga yang bersangkutan terkecuali ada pesan khusus dari mu’kur atau muku’d bersangkutan melalui para walian kepada keluarganya yang ditinggalkannya. Binatang korban untuk dibagikan, haruslah berjumlah ganjil, yaitu satu, tiga, lima, tujuh dan sebanyak sembilan. Binatang korban itu adalah babi. Ayam dapat pula dijadikan binatang korban. Adapun segala sesuatu mengenai peraturan korban adalah menjadi wewenang para walian.

Menurut ketentuan yang sebenarnya, khusus untuk binatang persembahan babi, ada ketentuan pembagiannya. Adapun hati babi, setelah dilihat tanda nasib, maka bersama otak dan jantung serta paru-paru dibakar untuk persembahan kepada Empung Walian Wangko. Satu ruas paha belakang untuk para walian. Dari bagian-bagian lainnya yang sisa dibagikan kepada orang susah. Maka ini berlaku untuk satu ekor babi. Maka untuk binatang persembahan lainnya berlaku hal yang sama.

Untuk binatang persembahan kecil seperti ayam berlaku pembagian per satu ekor, yaitu seekor yang dipilih untuk melihat hatinya. Maka kepala, paru-paru, jantung dan hati dibakar untuk persembahan kepada Empung Walian Wangko. Maka tiga ekor dipotong untuk dibagikan kepada orang yang susah. Namun kepala, jantung, dan hati dibakar untuk Dia. Seekor ayam dipotong dengan prosedur di atas dan menjadi milik walian.

Maka binatang ayam sebagaimana persembahan korban berjumlah paling kurang lima ekor dan bilamana ingin dipersembahkan lebih, bertambah lima ekor dan seterusnya, yaitu lima, sepuluh, lima belas, dua puluh dan seterusnya. Maka lima belas ekor ayam sama nilainya dengan seekor babi sedang.

Adapun binatang babi yang dipakai untuk persembahan adalah babi berukuran sedang atau peranggang dan bukan babi tua. Bagi keluarga yang susah, tidak terkena kewajiban menyerahkan binatang korban karena kesulitan hidup mereka sudah merupakan korban persembahan sehari-hari di hadapan Dia. Namun bila mereka mengharapkan sesuatu perbaikan dalam kehidupan, cukup memberi binatang korban sebanyak lima ekor ayam dengan ketentuan di atas. Walaupun mereka susah, namun tiga ekor ayam yang dipotong akan dibagikan kepada orang-orang susah lainnya.

Di samping itu, baik makanan yang dipersiapkan oleh tuan rumah maupun yang dibawa oleh pihak keluarga untuk rumumping atau mekaan, oleh tuan rumah akan diambil sedikit dari masing-masing jenis dan dengan minuman yang ada, akan diatur pada suatu tempat tersendiri untuk dipersembahkan kepada para Apo atau Opo, leluhur maupun mu’kur atau muku’d keluarga yang baru meninggal.

Hubungan ke atasnya adalah ke langit Kapataran dan Sinayawan maupun Kalawakan atau Owakan dan Kasendukan. Semuanya untuk kepentingan calon mu’kur atau muku’d dan manusia yang akan berakhir masa hidupnya (Sinayawan) dan proses selanjutnya dari mu’kur atau muku’d manusia yang sudah meninggal untuk dituntut (Kalawakan atau owakan) yang akan dibela (Kapataran) dan diadili (Kasendukan). Hubungan ke bawahnya adalah ke Kayobaan.

Selain tugas yang dapat dibaca di atas, terdapat pula tugas lainnya seperti berikut ini. Apo atau Opo  Sumendap berkuasa menggerakkan angin dari keempat mata angin, serta mengatur peredaran musim. Bilamana Apo atau Opo Sinendenan adalah Apo atau Opo  yang mengatur dan menciptakan air untuk membasahi kayoba'ang Malesung, Apo atau Opo  Sumendaplah yang akan menggerakan air tersebut melalui kekuatan hembusan angin ke tempat-tempat yang dibutuhkan. Apo atau Opo  Sumendap yang disebut berkuasa atas angin juga memberi pertolongan kepada manusia sesuai sifat kuasanya itu.


 
* Tulisan ini merupakan hasil kerja dari komisi yang beranggotakan seluruh wakil dari kaum-kaum di tanah Minahasa untuk menggali sejarah asal-usul, budaya termasuk hukum adat dan kepercayaan atau agama masa lampau serta banyak hal-hal lainnya. Mereka mulai bekerja pada 8 Maret 1854 dan menyelesaikan tugas pada 25 Januari 1896 dengan hasil tiga bundel terkait hukum adat Minahasa. Tulisan ini kemudian disusun ulang dan diperbaharui bahasanya oleh beberapa orang. Termasuk yang terakhir, yang lebih suka dipanggil dengan nama Natetomalesa.


Comments