Bhineka Tunggal Ika. Ungkapan ini menganjurkan agar masyarakat Indonesia yang majemuk atau jamak tidak mempersoalkan perbedaan latar belakang: suku, agama, golongan, dll. Itu malahan merupakan kekayaan negara Indonesia yang patur dilestarikan.
Umat Malesung (penghayat agama Malesung) hari ini tidak bebas dari tugas menjaga dan merawat keberagaman atau pluralitas. Sebagaimana para leluhur telah menerima keberadaan para penganut agama luar dahulu, begitulah seyogianya kita kini. Panutan tersebut berlaku abadi dan kekal. Karena ajaran si tou tumou (timou) tumou tou itu berlaku penerapannya kepada semua orang (kakele tou). Tidak hanya bagi yang sesuku atau seagama.
Meski merupakan agama asli Minahasa, jumlah umat Malesung hari ini tidak begitu banyak. Itu kenyataan yang harus diterima. Namun faktor kuantitas jangan dijadikan alasan untuk tidak mengambil bagian dalam pembangunan Indonesia. Dan tentu saja, kontribusi positif yang ditonjolkan bukan faktor minoritas.-mayoritas.
Penghayat agama Malesung mesti memberi warna. Berpartisipasi dalam pemajuan kebudayaan dan peradaban Indonesia dan dunia. Termasuk berperan dalam politik, ekonomi, pendidikan, dan pewujudan demokrasi. Peran-peran positif kita akan menjadi bukti bahwa ajaran para leluhur adalah benar-benar luhur dan mulia. Sebagai "tuan rumah" kita wajib menjadi dan memberi teladan. Menjamu tamu dengan semestinya itu adalah wajib hukumnya.
Soal perawatan keberagaman memang telah dipesankan leluhur demikian: raica wana si parukuan, raica wana si pakuruan. Se tou peleng. Mapute waya. Ungkapan ini bermakna: tak ada yang disembah, tak ada yang dipuja. Semua sama. Sama semua. Hal ini nyata dalam sistem pemerintahan di masa lampau. Para pemimpinnya dipilih secara demokratis. Bukan sistem kekuasaan yang diturunkan dari orangtua ke anak lalu ke cucu dan keturunannya.
Dalam hal pendidikan, tradisi leluhur mengajarkan bahwa pendidikan itu penting. Tak heran misionaris orang Eropa yang datang ke Minahasa mengadopsi sistem papendangan leluhur itu dan menamainya sistem anak piara. Dalam lembaga pendidikan yang dituntun oleh para tonaas dan walian, orang Minahasa sedari kecil telah dibekali dengan berbagai pengetahuan dan keterampilan dalam pembukaan lahan baru untuk pertanian, pendirian kampung untuk pemukiman baru, perawatan dan pengobatan orang-orang sakit, upacara keagamaan, serta undang-undang atau adat istiadat. Bahkan kecakapan berperang untuk melindungi diri dan negeri pun sudah mulai diajarkan sejak anak-anak masih belia.
Penghayat agama Malesung dewasa ini akan banyak menghadapi tantangan. Ini akan terjadi apabila kita menyesuaikan dengan masa dan keadaan-keadaan yang relatif baru. Umat Malesung meski menguatkan kapasitasnya. Membekali diri dengan banyak kecakapan hidup baru yang sesuai zaman tanpa harus meninggalkan anjuran dan ajaran luhur Malesung. Tantangan agama Malesung adalah menghadapi dunia yang kian industrialis. Padahal agama Malesung bertumbuh dalam tradisi agraris atau pertanian. Namun sekali lagi penyesuaian ini tidak bermakna mengadopsi tradisi industrialis dan membuang kebiasaan agraris.
Umat Malesung (penghayat agama Malesung) hari ini tidak bebas dari tugas menjaga dan merawat keberagaman atau pluralitas. Sebagaimana para leluhur telah menerima keberadaan para penganut agama luar dahulu, begitulah seyogianya kita kini. Panutan tersebut berlaku abadi dan kekal. Karena ajaran si tou tumou (timou) tumou tou itu berlaku penerapannya kepada semua orang (kakele tou). Tidak hanya bagi yang sesuku atau seagama.
Meski merupakan agama asli Minahasa, jumlah umat Malesung hari ini tidak begitu banyak. Itu kenyataan yang harus diterima. Namun faktor kuantitas jangan dijadikan alasan untuk tidak mengambil bagian dalam pembangunan Indonesia. Dan tentu saja, kontribusi positif yang ditonjolkan bukan faktor minoritas.-mayoritas.
Penghayat agama Malesung mesti memberi warna. Berpartisipasi dalam pemajuan kebudayaan dan peradaban Indonesia dan dunia. Termasuk berperan dalam politik, ekonomi, pendidikan, dan pewujudan demokrasi. Peran-peran positif kita akan menjadi bukti bahwa ajaran para leluhur adalah benar-benar luhur dan mulia. Sebagai "tuan rumah" kita wajib menjadi dan memberi teladan. Menjamu tamu dengan semestinya itu adalah wajib hukumnya.
Soal perawatan keberagaman memang telah dipesankan leluhur demikian: raica wana si parukuan, raica wana si pakuruan. Se tou peleng. Mapute waya. Ungkapan ini bermakna: tak ada yang disembah, tak ada yang dipuja. Semua sama. Sama semua. Hal ini nyata dalam sistem pemerintahan di masa lampau. Para pemimpinnya dipilih secara demokratis. Bukan sistem kekuasaan yang diturunkan dari orangtua ke anak lalu ke cucu dan keturunannya.
Dalam hal pendidikan, tradisi leluhur mengajarkan bahwa pendidikan itu penting. Tak heran misionaris orang Eropa yang datang ke Minahasa mengadopsi sistem papendangan leluhur itu dan menamainya sistem anak piara. Dalam lembaga pendidikan yang dituntun oleh para tonaas dan walian, orang Minahasa sedari kecil telah dibekali dengan berbagai pengetahuan dan keterampilan dalam pembukaan lahan baru untuk pertanian, pendirian kampung untuk pemukiman baru, perawatan dan pengobatan orang-orang sakit, upacara keagamaan, serta undang-undang atau adat istiadat. Bahkan kecakapan berperang untuk melindungi diri dan negeri pun sudah mulai diajarkan sejak anak-anak masih belia.
Penghayat agama Malesung dewasa ini akan banyak menghadapi tantangan. Ini akan terjadi apabila kita menyesuaikan dengan masa dan keadaan-keadaan yang relatif baru. Umat Malesung meski menguatkan kapasitasnya. Membekali diri dengan banyak kecakapan hidup baru yang sesuai zaman tanpa harus meninggalkan anjuran dan ajaran luhur Malesung. Tantangan agama Malesung adalah menghadapi dunia yang kian industrialis. Padahal agama Malesung bertumbuh dalam tradisi agraris atau pertanian. Namun sekali lagi penyesuaian ini tidak bermakna mengadopsi tradisi industrialis dan membuang kebiasaan agraris.
Comments
Post a Comment