Peribadatan Agama Malesung


Para imam Malesung tidak dipilih dan diangkat oleh masyarakat, melainkan terpilih oleh kuasa gaib atau oleh kehendak Tuhan Yang Maha Esa, yakni melalui tatacara maupun upacara sakral atau gaib. Atas dasar alasan di atas, jabatan imam, yang disebut walian, tidak bersifat turun-temurun. Kecuali terpilih melalui kuasa gaib. 

Di samping itu walian dalam melaksanakan tugas selalu mendapat petunjuk gaib tentang apa yang harus dilakukan sehingga tidak perlu menghafal segala peraturan dan tatacara dari berbagai jenis dan maksud peribadatan. Sangat mungkin oleh kedua sebab di atas serta berbagai faktor lainnya yang menyebabkan tidak adanya peninggalan tertulis (kitab) mengenai tatacara agama Malesung.

Ada peralatan dan perlengkapan yang dibutuhkan dalam melaksanakan upacara peribadatan. Peralatan dan perlengkapan di samping ada ketentuan wajib, juga ada yang disiapkan sesuai dengan yang mudah didapat di wilayah atau di sekitar tempat dilakukan upacara. Yang menjadi ketentuan wajib adalah jenis benda yang mudah didapat serta tersebar di tanah Malesung, seperti jenis tumbuhan tertentu yang selalu menjadi inti, yang dianggap mempunyai hubungan sakral atau magis. 

Namun agama Malesung tidak juga kaku untuk menekan kebutuhan benda upacara tersebut. Dimana terdapat sekumpulan masyarakat Malesung menetap, baik di pelosok manapun di tanah Malesung maupun di perantauan pasti akan ada orang yang terpilih dan diangkat secara gaib menjadi walian di tempat tersebut. Demikian halnya dengan benda kebutuhan untuk upacara juga tidak mengikat karena segala sesuatu dapat disesuaikan dengan apa yang bisa didapat di sekitarnya sesuai petunjuk gaib.


Untuk melaksanakan upacara-upacara khusus yang berhubungan dengan alam serta kehidupan keseimbangan, dipilihlah tempat-tempat khusus seperti di tanah yang akan diolah, di bawah pohon besar, di sumber mata air, di pertemuan sungai, di atas batu besar, di puncak suatu ketinggian, muara sungai, mulut sungai, di danau atau di pinggir danau dan di tempat lain yang ditunjuk oleh kuasa gaib melalui seorang walian


Maka tempat-tempat penyembahan atau upacara keagamaan kaum, baik untuk kepentingan kampung atau wanua maupun pusat upacara hulu kaum atau rumpun harus memenuhi persyaratan, diantaranya: 1) di tempat ketinggian; 2) tidak jauh dari sumber air; 3) taratak foso (rumah persembahan) serta meja tambar di dalam rumah tersebut letaknya di timur sehingga masyarakat berdiri di sebelah barat taratak foso; 4) walian akan menghadap ke meja tambar serta berdoa atau mengale) kepada Tuhan (menghadap timur dan membelakangi rakyat). 
Berdoa bermakna memuji serta memohon kepada Tuhan. Doa yang diucapkan walian haruslah dengan suara yang keras agar terdengar oleh seluruh rakyat. Bila diperlukan, walian-walian pembantu akan mengulangi setiap ucapan doa dari walian utama, kalimat demi kalimat.

Maka setiap akhir kalimat dari walian utama harus diteguhkan oleh rakyat dengan ucapan benar agar alam menjadi saksi bahwa apa yang didoakan walian adalah benar untuk kepentingan masyarakat atau bahkan untuk seluruh alam. Maka walian akan meminta agar Tuhan, para Empung  dan Apo atau Opo untuk melihat dan menerima segala persembahan di atas meja tambar. Untuk setiap benda persembahan baik itu makanan, minuman maupun persembahan lainnya. Satu demi satu diangkat oleh walian ke arah timur serta membalik ke timur meletakkan kembali ke meja tambar.

Maka walian akan membalik menghadap ke rakyat (barat) serta memberi ucapan kata-kata berkat. Setelah upacara foso selesai, barulah diadakan pemotongan hewan untuk melihat nasib melalui hati hewan tersebut. Ini dilakukan di luar taratak foso, dan bukan merupakan benda persembahan di atas meja tambar. Bilamana upacara adalah untuk hulu kaum atau rumpun, binatang persembahan diberikan oleh setiap kaum.

Setiap kaum terdiri dari pemuka masyarakat yaitu walian utama, tonaas, teterusan utama, patu’usan utama (tetua yang paling dihormati) serta lima rakyat atau wakil keluarga yang dihormati. Setiap kampung mempersembankan satu hewan korban untuk dilihat hatinya. Hati ini setelah dilihat tanda nasibnya, harus dibakar (semua milik kaum disatukan) dan dibakar di satu tempat oleh walian pemimpin upacara.

Dua kali dalam setahun pada masa pergantian musim, diadakan upacara keagamaan besar di Watu Pinawetengan, dimana setiap rumpun Malesung atau Minahasa mengatur taratak-taratak foso masing-masing di tempat yang sudah ditetapkan. setiap rumpun diwakili oleh pemuka masyarakat kaum. Pemuka masyarakat kaum adalah mereka yang diakui oleh negeri-negeri atau kampung-kampung dari kaum tersebut. 

Yang dimaksud dengan kaum adalah wilayah walak atau pakasaan. Setiap pemuka masyarakat (lihat di atas) diwakili tiga orang dengan satu sebagai pemimpin ditambah wakil rakyat, sebanyak tiga orang dari satu negeri atau wanua. Adapun yang memimpin upacara maupun yang melayani tamu-tamu termasuk konsumsi, diadakan secara bergantian untuk setipa upacara besar, dari rumpun yang satu ke lainnya.

Upacara negeri atau wanua diadakan bersama oleh seluruh rakyat. Maka Empung Wailan Wangko atau Apo Kasuruang Wangko memberi  kuasa penuh kepada Empung Karema untuk menata dan menyusun maupun mengatur alam ririmpuan ini, ia pula diberi kuasa untuk mencipta benda-benda lain. kedelapan Empung lain yang tidak mempunyai kuasa untuk mencipta, membantu Empung Karema. 

Demikianlah alam ririmpuruan terisi dan demikian pula kayoba'ang atau bumi dibentuk. Pada awalnya, kayoba'ang dibentuk dari kelima benda awal yaitu udara, tanah, bantu, air dan api.

Comments