Sumber Ajaran Agama Malesung


Begitu keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 97/PUU-XIV/2016 disahkan, maka kedudukan enam agama yang berasal dari luar (Islam, Katolik, Protestan, Buddha, Hindu dan Konghucu) dan agama-agama asli Nusantara (yang disebut Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa) menjadi setara atau sama. Para penghayat agama asli Nusantara ini bertepuk tangan gembira. Keputusan MK itu adalah tiket agar agama penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa boleh tercantum di kolom Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK).

Namun, belum lagi berjalan penerapannya, sudah lekas-lekas diprotes oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Meski tidak menolak keberadaannya, mereka tidak ingin agama-agama asli Nusantara disejajarkan dengan agama Islam. Hal ini melukai hati mereka, ucap salah satu petinggi MUI. Mereka tidak mau mengakui agama-agama asli Nusantara sebagai agama. Mereka tetap menyebutnya sebagai aliran kepercayaan. Anehnya, MUI "mendikte" pemerintah agar penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa diberi KTP khusus.

Dan ternyata usul itu diterima oleh negara. Yang tertulis di KTP adalah bukan "Agama: Parmalim" atau lainnya sesuai nama agama-agama Nusantara, tapi hanya tertulis "Kepercayaan: Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Umat penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa hanya bisa pasrah sejenak demi menikmati kesuksesan kecil. Terimalah dulu. Paling tidak, tak lagi dipaksa untuk memilih satu dari enam agama "impor" itu.

Apa alasan sebenarnya yang mendasari MUI menolak agama-agama asli Nusantara sebagai agama?

Dalam beberapa penyampaian mereka, mencuat bahwa syarat berdirinya (diakuinya) suatu agama antara lain memiliki : 1) sesuatu yang Ilahi, 2) nabi, 3) kitab suci  dan 4) pengakuan internasional. Seolah landasan berpikir mereka ini benar adanya. Keempat syarat ini tentu saja bisa dipenuhi oleh agama-agama samawi (Islam, Katolik dan Protestan). Bagaimana dengan agama Hindu, Buddha dan Konghucu? Nyaris tak bisa. Tapi bagaimana dengan poin (2). Ketiga agama itu tidak memiliki nabi. Karena, sebenarnya istilah "nabi" adalah istilah dari Timur Tengah. Sehingga, mau tidak mau, untuk bisa memenuhi syarat-syarat, maka agama-agama lain akan membuat dan atau menerjemahkan secara berbeda isi kitabnya demi menyesuaikan dengan agama-agama samawi.

Untuk agama-agama asli Nusantara, apakah mereka bisa memenuhi keempat syarat itu. Untuk poin (1) iya karena mereka memiliki oknum Aditinggi yang disebut dengan berbagai nama dan istilah. Tapi bagaimana dengan poin (2), (3) dan (4)? Agama-agama asli Nusantara tidak memiliki istilah atau kata nabi dalam bahasa daerah mereka. Tapi ini bukan berarti mereka tidak memiliki tokoh atau orang yang berfungsi selaku nabi. Agama Malesung, sebagai contoh, memilki walian dan tonaas yang menjalankan fungsi--fungsi seperti yang dijalankan oleh nabi.

Hampir semua agama-agama asli Nusantara, termasuk agama Malesung, juga tidak memiliki kitab suci. Kebanyakan wahyu atau ilham sebagai sumber ajaran diperoleh atau diwariskan secara turun-temurun lewat perilaku dan tradisi leluhur. Umumnya ajaran yang bersifat tuntunan disampaikan dan diteruskan kepada umat secara lisan. Dan tuntunan itu diperoleh dari mediator, baik melalui mimpi, bisikan atau penglihatan. Lalu diceritakan kepada umat.

Apakah agama-agama asli Nusantara mendapat pengakuan internasional? Bagaimana? Itu landasan yang kurang jelas dan bias. Sifat agama-agama asli Nusantara tidak seperti agama lain yang penganutnya diwajibkan atau diberikan amanat untuk menyebarluaskan ajaran ke bangsa-bangsa lain. Tidak ada tugas yang dibebankan kepada umat Malesung untuk me-malesung-kan bangsa-bangsa lain selain Minahasa. Para penganut agama-agama asli Nusantara,, termasuk Malesung, secara sadar mengakui bahwa Tuhan itu maha kuasa. Dan Dia tentu secara adil mengutus seseorang sebagai wakilnya untuk membantu umat di setiap zaman dan tempat agar mereka mengikut jalan kebenaran.

Agama Malesung juga begitulah. Tidak memiliki kitab suci. Kitab mereka ada dalam kepala setiap umat. Bisa dibaca pada pesan leluhur, maklumat walian dan tonaas, perilaku orang tua, tingkah laku mahluk hidup lain, syair-syair Maengket (juga Mawinson dan Kawasaran), tanda-tanda alam, tugu-tugu peringatan, nama-nama orang (juga tempat, peristwa dan benda) dan lain sebagainya. Umat Malesung percaya bahwa Tuhan masih berbicara dengan mereka dengan berbagai cara. Termasuk ketika walian dan tonaas kepenuhan roh-roh baik (reghes lo'or) utusan Yang Maha Kuasa, yakni Apo Kasuruang Wangko atau Empung Wailan Wangko.

Pertanyaan yang tersisa adalah, bagaimana semua sumber ajaran itu bisa dianggap benar dan sah? Bukankah orang-orang, tanda-tanda alam dan roh-roh itu bisa menipu? Pertanyaan yang sama bisa juga dialamatkan kepada penganut-penganut agama berkitab.

Tentunya, Tuhan itu maha baik. Dia akan senantiasa memberi tanda kepada umatnya sehingga mereka akan senantiasa di jalan kebenaran (Lalang Karondoran).Itu sebabnya para pemimpin Minahasa disebut tonaas yang berarti orang bijaksana, berilmu, dan teguh imannya. Tentu pemimpin demikian dikaruniai kemampuan membedakan mana yang benar dan salah. Demikian. Pakatuan wo pakalowiren (Semoga kita diberi umur panjang dan kesehatan senantiasa).

Comments