Masyarakat
Malesung dalam alam pikirannya adalah sederhana, yang percaya akan sesuatu
pribadi yang disebut pencipta, penguasa, yang mengatur keseimbangan alam ini
serta yang meniadakan atau mengambilnya. Bagaimana kedudukan maupun kekuasaan
serta sifatNya, dapatlah dipelajari dari tongkat Sinakedan.
Tongkat Sinakedan dipegang oleh para walian kepala. Menurut kisah, walian pertama yang menerima tongkat ini adalah Apo atau Opo Lumimuut yang dikenal sebagai ibu masyarakat Malesung. Ia menerima tongkat tersebut dari Empung Karema. Masyarakat Malesung dalam kehidupan bermasyarakat tidak mengenal raja atau kepemimpinan turun-temurun. Minahasa terdiri dari sejumlah republik kecil yang masing-masing mempunyai kedaulatan atas wilayahnya. Republik kecil itu dikenal oleh masyarakat Malesung sebagai pakasaan atau walak.
Setiap pakasaan atau walak diperintah oleh Tuur In Baleh atau Tuur im Mbale yang juga dikenal sebagai Kepala Walak. Mereka juga disebut Tonaas atau orang kuat. Lebih mengandung arti orang yang terbaik dalam segala hal. Mereka adalah bijaksana, berwawasan luas, menguasai adat dalam menerapkan hukum dan peraturan, kepemimpinan yang disegani dan berbagai hal sehingga dipilih oleh rakyat untuk memimpin dan memerintah.
Walian, sebagaimana sudah dijelaskan, adalah suatu jabatan imam yang mengurus masalah keagamaan dan tidak turun-temurun. Seseorang akan dipilih serta diangkat melalui petunjuk gaib. Apo Kasuruan Wangko akan memberi tanda kepada orang yang dijadikan calonNya dan selanjutnya masyarakat akan menguji ulang, apakah mereka yang terpilih itu membawa tanda yang benar dariNya. Oleh karenanya, masyarakat melalui pemuka adat akan menyiapkan sesuatu, yang melalui upacara, untuk meminta kepadaNya agar diberi tanda.
Ini dapat melalui benda yang menggerakkan atau dalam bentuk yang lain melalui kuasa gaib dan juga melalui tanda alam. Pemilihan dan proses pengangkatan walian juga harus diadakan dan disaksikan oleh seluruh masyarakat. Terkecuali dalam hal yang bersifat rutin di bidang pengaturan pemerintahan. Tonaas atau kepala walak dalam melangkah atau bertindak keluar dari rutinitas harus tunduk dan meminta petunjuk maupun keputusan walian. Oleh karenanya, pakasaan atau walak dalam sistim pemerintahannya tergolong teokrasi. Dalam tindakannya selalu minta petunjuk Yang Maha Kuasa melalui wakil, yakni walian.
Demikian tongkat Sinakedan itu pada awalnya diberikan kepada Apo atau Opo Lumimuut sebagai walian pertama dan selanjutnya setiap walian kepala memiliki tongkat Sinakedan sebagai lambang wakil Apo Kasuruan Wangko atau Empung Walian Wangko.
Dari tongkat Sinakedan ini terpancar berbagai arti, karena ia dapat melambangkan makna: 1) Siapa Apo Kasuruan Wangko atau Empung Walian Wangko itu dengan segala kuasa dan sifatnya, 2) Keadaan alam dan sifatnya serta kehidupan di dalamnya termasuk kaoatan atau kayoba'ang dengan segala isinya, dan 3) Kehidupan manusia Melesung. Karena itu tongkat Sinakedan dianggap sebagai pancaran awal atau dasar pandangan hidup agama Posan maupun budaya Malesung.
Karena itu, segala sesuatunya menyangkut Apo Kasuruan Wangko atau Empung Walian Wangko haruslah diteliti serta dipelajari maupun dimengerti apa arti lambang dari tongkat Sinakedan. Sebab, dari berpangkal Tuhan-lah barulah dapat mengenal dan mengetahui yang lainnya.
Bagian atas tongkat terdiri dari sebuah kepala perempuan dengan dua wajah
kembar saling bertolak belakang. Bagian tengah kepala membuat sudut tajam serta
menunjuk ke atas. Kepala itu berbatas pada leher dan duduk pada sebuah gelang
yang membatasi kepada dengan tongkat ke bagian bawahnya.
Gelang atau piringan gelang disebut sakeli. Untuk tongkat Sinakedan yang dipegang walian, kepala tongkat dan ujung lancip bagian bawah tongkat terbuat dari perunggu atau tembaga. Batang tongkat terbuat dari kayu jenis rotan atau pondos.
Gambaran wajah dan kepala perempuan mengartikan yang menurunkan keturunan. Pembenihan antara hubungan laki-laki dan perempuan terjadi dalam tubuh perempuan dan kemudian melahirkan penerus keturunan; Tuhan dikenal sebagai Amang Kasuruang Wangko disebut juga sumber segala benih keturunan.
Gambaran kepala mengartikan pusat pikiran manusia yang mengaktifkan manusia dalam keseluruhannya, memberi sifat tersendiri bagi manusia maupun benda lainnya seperti tumbuhan, binatang, api, air dan sebagainya. Tuhan yang dikenal Apo Kasuruan Wangko atau Empung Walian Wangko disebut sebagai sumber segala sifat.
Tanda sakeli atau
gelang pada batas leher menunjuk ke atas ke alam langit tak terbatas. Tuhan
besarnya tidak terukur oleh pikiran manusia sehingga disebut tidak berbentuk;
karena tidak terukur oleh pikiran manusia maka apa yang membentuknya adalah: 1)
Tak terukur jenis benih dan yang masing-masingnya tak terukur jumlahnya, 2) Tak
terukur jenis sifat dan yang masing-masing tak terukur jumlahnya.
Ujung tongkat bagian bawah berbentuk lancip serta menekan ke tanah menunjuk pada keterbatasan yang diketahui manusia. Tuhan terukur oleh pikiran manusia sehingga disebut berbentuk. Semua bentuk yang ada di alam atau bumi yaitu udara, batu dan seterusnya terbentuk dari asal benih dan asal sifatNya.
Berbicara sifat dibatasi pada bagian kepala tongkat.
Bentuk lancip kepala yang menunjuk ke atas langit yang tak dapat terukur adalah
sifat kekal atau abadi. Dua wajah kembar yang bertolak belakang pada satu
kepala menunjuk pada sifat kuasa keseimbangan. Dengan demikian Apo Kasuruan
Wangko atau Empung Walian Wangko adalah keseimbangan dalam kehidupan
alam. Pribadi tunggal yang tak ada padanannya.
Wajah bertolak belakang menyatakan dua sifat-kuasa yang bertolak belakang
dalam diriNya, yakni baik melawan jahat, persatuan melawan perpecahan, dan
sehat melawan sakit. Ini bermaknanya: 1) Apo Kasuruan Wangko atau Empung
Walian Wangko adalah masa lalu dan masa datang, 2) Rantai kehidupan tidak
berakhir kecuali Apo Kasuruan Wangko atau Empung Walian Wangko
menghendakinya, 3) Apo Kasuruan Wangko atau Empung Walian Wangko
adalah sumber berkat sekaligus kutuk, 4) Apo Kasuruan Wangko atau Empung
Walian Wangko adalah pencipta sekaligus perusak, 5) Apo Kasuruan Wangko atau
Empung Walian Wangko adalah pemberi sekaligus pengambil.
Kepala manusia berwajah dua serta memandang alam yang tak terbatas
mengartikan keterbatasan segala benda ciptaanNya yang dilambangkan kepada
manusia berada di atas segala ciptaanNya. Manusia penuh dengan keterbatasan
untuk mencari pengetahuan yang membentuk tubuhNya.
Kepala perempuan yang berwajah dua serta memandang alam tak terbatas
mengartikan di dalam Apo Kasuruan Wangko atau Empung Walian Wangko
terkandung berbagai dan tak terhingga jenis benih yang dapat membentuk tak
terhingga benda yang dapat menurunkan keturunan. Namun, yang ada di kayobaan
ini hanyalah sebagian dan terbatas, sebatas apa yang manusia ketahui dan yang
akan diberitahu.
Kepala mengartikan kepemimpinan yang melambangkan Apo
Kasuruan Wangko atau Empung Walian Wangko yang memiliki segala
sesuatu. Profil kepala yang terdapat mata, telinga, hidung, mulut dan otak
menyatakan bahwa yang tahu akan segala sesuatunya. Kedua wajah bertolak
belakang serta memandang ke arah yang tak terbatas menyatakan maha tahu.
Dan melambangkan sebagai sumber kasih dan perhatian,
bagaikan seorang ibu yang senantiasa memperhatikan anaknya. Cincin atau sakeli
mengartikan sumber kuasa penggerak alam semesta. Menguasai segala sesuatunya
(batas kepala sampai cincin) namun tidak terpengaruh oleh segala kebutuhan
nafsu (bagian condong ke bawah).
Tongkat di bagian bawah dari piringan cincin menunjukkan
sebagai penuntun dan petunjuk jalan hidup dan pelindung (bagaikan alat senjata
pemukul) hidup. Namun juga berkuasa untuk menghukum untuk menegakkan hukum bagi
keseimbangan. Dialah yang menetapkan kuasa keseimbangan di dalam kehidupan kayoba'ang
(bagian lancip bawah tongkat yang menekan tanah).
Menurut sumber kisah, tongkat Sinakedan yang asli
hanya dipegang oleh Apo atau Opo Lumimuut. Dan tidak diserahkan kepada
anaknya maupun keturunannya yang menjadi walian kepala. Sejak
kepemimpinan walian diserahkan kepada anak Apo atau Opo Lumimuut,
sejat itu pula dikenal tongkat yang terbuat dari rotan atau perunggu atau
tembaga.
Tongkat asli dalam keseluruhan terbuat dari materi
lengkap di alam yang tembus cahaya terlihat bagaikan berurat di dalamnya
berwarna coklat merah kekuning-kuningan. Tongkat ini dibuat sendiri oleh Apo
atau Opo Karema atas perintah Apo Kasuruan Wangko atau Empung
Walian Wangko.
Tongkat yang juga bermateri zat yang terdapat di kayobaan
sehingga mengeluarkan cahaya pelangi bila tertimpa cahaya. Tongkat ini
dipercaya sebagai melambangkan kehidupan dan pengetahuan (tubuh dan jiwa) dan
pancaran agama Posan dan budaya Malesung.
Masyarakat Malesung
percaya bahwa Tuhan yang disebut Apo
Kasuruan Wangko atau Empung Walian Wangko
adalah sumber segala sifat dan benih. Tuhan dalam keutuhannya memancarkan tiga
sifat utama yang dikenal secara luas oleh masyarakat Malesung dalam nama Lokon Telu.
Lokon berarti menyusun atau susunan. Telu berarti tiga. Lokon Telu
diartikan sebagai tiga susunan kuasa dan sifat yang menjadi satu, yakni 1) Manalinga,
yaitu yang selalu mendengar karena mengasihi, 2) Manembo, yaitu yang selalu
melihat atau mengawasi untuk menjaga, dan 3) Renga-rengan, yaitu yang berkuasa
memberi ataumencipta maupun mengambil atau menghancurkan, yakni yang menyatakan
kuasa keseimbangan.
Tuhan tunggal namun adalah jamak, dalam
pengertian bentuk sifat dan kuasa yang disalurkan kepada pelaksana di bawahNya.
Bilamana ketiga sifat utama digabungkan, sangat luas dan mungkin tak terbatas
pengertiannya, walaupun ketiga deretan kata yang merupakan sifat utama Tuhan
itu tercipta oleh pandangan alam pikiran sederhana para leluhur atau minaopo. Bagi pandangan sekarang disebut
primitif. Namun siapa tahu? Apakah mereka yang primitif atau kita yang tak
mampu memahami.
Jadi, Tuhan adalah sumber kasih,
pengampun dan pelindung namun juga sumber murka, penghukum dan pembinasa. Ada
pada tiga sifat utama. Tuhan adalah awal dan juga akhir. Ada pada tiga sifat
utama. Tuhan adalah pemberi atau pencipta namun juga yang mengambil atau menghancurkan.
Ada pada tiga sifat utama. Tuhan adalah kehidupan dan kematian. Ada pada tiga
sifat utama. Tuhan adalah sumber berkat dan kutuk. Ada pada tiga sifat utama. Tuhan
adalah berbentuk namun juga tidak berbentuk. Ada pada tiga sifat utama.
Bilamana pula kita memecahkan sifat
kuasanya terlepas dari sifat dan kuasa keseimbangan, terdapat tiga sifat utama.
Adapun ketiga sifat kuasa utama itu sering pula dilambangkan oleh masyarakat
Malesung untuk generasi pertama atau leluhur awal yaitu 1) Renga-rengan yang dilambangkan dalam diri Empung Karema, 2) Manembo
yang dilambangkan dalam diri Opo atau
Apo Lumimuut, dan Manalinga yang dilambangkan dalam diri Opo atau Apo Toar.
Selanjutnya kepada generasi kedua, yakni anak Apo Lumimuut dan Apo Toar adalah 1) Manembo
yang dilambangkan dalam diri Opo
Muntu-untu, 2) Manalinga yang dilambangkan
dalam diri Opo Mamarimbing, dan 3) Renga-rengan
yang dilambangkan dalam pecahan diri anak-anak Opo/Apo Lumimuut dan Toar.
Selanjutnya agar masyarakat tetap ingat
akan ketiga sifat dan kuasa dari Apo
Kasuruan Wangko atau Empung Walian
Wangko, maka ditetapkan tanda alam puncak gunung, dimana gunung
melambangkan keperkasaan. Masyarakat di utara Malesung menetapkan empat puncak
gunung yaitu gunung Empung, Lokon, Tatawiren dan Kasehe. Puncak Empung
mengingatkan akan KeEsaanNya dengan ketiga kuasa-sifat utamaNya atau Lokon Telu yang digambarkan dalam Telu Lokon yaitu puncak-puncak
tersebut dengan lain istilah, yakni Kuntung
ni Empung.
Masyarakat di selatan Malesung menetapkan empat puncak gunung,
yaitu puncak Manimporok, Rindengan, Sempu dan Soputan, yang kesemuanya itu
disebut Kuntung i Wailan. Puncak
Rindengan mengingatkan akan keEsaanNya dengan ketiga kuasa-sifat utama atau Lokon Telu yang digambarkan dalam telu lokon, yaitu puncak-puncak
tersebut.
Gunung Tonderukan yang mempunyai dua
puncak seharusnya masuk ke dalam kelompok Kuntung
i Wailan. Namun gunung tersebut diistimewahkan dan dikhususkan oleh kedua
kelompok masyarakat utara dan selatan Malesung. Tonderukan berarti penggenapan janji Apo Kasuruan Wangko atau Empung
Walian Wangko. Yang sebenarnya lebih ditujukan kepada makna digenapkan
rencanaNya untuk membuat manusia itu menjadi makhluk yang bebas untuk memilih
dan menentukan arah hidupnya. Tidak lagi sepenuhnya tergantung atau
menggantungkan hidup mereka sepenuhnya kepadaNya.
Sejak itu manusia tidak lagi
diistimewakan namun semua benda ciptaanNya termasuk manusia, semuanya dalam
hidup masing-masing akan terkena pengaruh kuasa keseimbanganNya. Demikianlah,
Tuhan dalam rencana kehidupan manusia sejak dari saat manusia pertama yaitu Opo Naiwaka in Tana dan Rengan di masa Tanaure diciptakan
(manusia perlindungan) sampai ke masa Melesung di Tonderukan (manusia bebas).
Tonderukan melambangkan Apo Kasuruan Wangko atau Empung Walian Wangko dengan kedua
puncaknya yaitu puncak Manembo-nembo
dan Manalinga. Puncak Manalinga pernah berubah nama menjadi
puncak Bantik. Karena pada masa perang dengan kerajaan Mongondow pasukan kaum Bantik
tidak mau mengikuti raja Loloda untuk mundur ke tanah Mongondow.
Dalam usaha
kaum Bantik untuk kembali ke tanah leluhur Opo
Mandolang di pantai Soangah (selatan Teluk Wenang), mereka mencari usaha
melalui jalan gunung karena pantai Barat Malesung penuh dengan pasukan Minaesa.
Secara tidak sengaja tembuslah kaum Bantik di wilayah walak Tompaso dan mendaki puncak Manalinga untuk melihat keadaan utara Malesung ke arah pantai
Wenang dimana tanah leluhur mereka berada.

Comments
Post a Comment