Dahulu kala di pantai timur daerah Minahasa tinggallah seorang yang gagah perkasa bernama Tumalun. Isterinya bernama Tonton. Anaknya dua orang perempuan. Yang sulung bernama Mawikit dan yang bungsu bernama Kawulanan. Ia sangat sayang kepada kedua orang anaknya itu. Apa saja yang dipinta mereka itu dikabulkannya.
Mata pencahariannya ialah berburu dan membuat sagu. Perkakasnya untuk berburu ialah lembing. Lembingnya itu panjang dan sangat berat. Tidak seorangpun yang berani memegang. Kalau ada orang yang berani memangnya, maka orang itu akan jatuh sakit. Sudah berpuluh-puluh orang banyaknya suku bangsa Mindanao yang menjadi korban dengan lembingnya itu. Selain dari pada lembingnya itu iapun mempunya sebuah golok (parang yang besar, lebar dan sangat berat). Golok itu hanya dipakainya kalau ia hendak membuat sagu atau menghadapi musuh tangguh.
Makanannya berlimpah-limpah. Selain dari binatang perburuan, di dalam pondoknya terdapat juga berpuluh-puluh ruas buluh yang berisikan sagu, sehingga mereka itu tidak khawatir akan kekurangan makanan.
Ia seorang jujur dan baik budi. Jikalau ia melihat ada orang yang berada di dalam kesusahan tidak segan-segan ia membantunya. Sebaliknya kalau ia melihat ada orang yang berbuat kejahatan, orang itu akan dibunuhnya.
Kegemarannya yang terutama ialah mengadu atau berkelahi dengan siapa saja. Ia tidak mau kalau ada orang lain yang dapat melebihi kekuatannya. Orang itu akan dicarinya sampai dapat dan akan diajaknya mengadu kekuatan dengan dia atau berkelahi sehingga salah satu diantara mereka itu tewas.
Ia hanya tinggal di pondoknya kalau isteri atau anak-anaknya sakit. Tetapi kalau mereka itu sehat-sehat saja, ia akan merantau/berkalana ke tempat-tempat yang lain. Kadang-kadang sampai dua bulan ia tidak akan kembali ke pondoknya.
Pada suatu hari ketika ia tiba pada suatu tempat (di desa Parepey sekarang ini) dilihatnya banyak orang berkumpul pada sebuah bangsal. Ketika ditanyakannya pada seorang penduduk, orang itu mengatakan bahwa di dalam bangsal itu ada seorang pemuda yang baru saja meninggal karena dibunuh oleh Wangko Ne Parepey. Ia dibunuh karena tidak dapat menyediakan ikan yang diperintahkan kepadanya pada jam yang ditentukan.
Dikatakannya pula bahwa sudah banyak pemuda-pemuda dan orang-orang tua yang menjadi korban kekejamannya. Penduduk akan berterima kasih kalau ada orang yang lain yang dapat membunuhnya. Kemudian Tumalun dipersilahkannya untuk mampir seketika. Ajakan orang itu tidak ditolaknya lalu iapun duduk bersama-sama dengan penduduk di tempat duduk yang kosong.
Di tempat itu ia mendengar tentang kekejaman-kekejaman yang telah dilakukan oleh Wangko Ne Parapey. Lain dari pada itu ditanyakannya juga tentang wilayah kekuasaannya. Setelah selesai ia minta diri dan keluar dari tempat itu.
Wangko Ne Parepey adalah seorang yang bertubuh besar dan tinggi. Ia seorang yang bertenaga luar biasa. Nira adalah minuman kegemarannya. Nira itu diisikannya pada sebuah "posong" (daun woka yang diikat pada ujungnya). Tiap kali ia minum ia "kumukuk" (bataria). Pada waktu Tumalun hendak pulang, ia meliwati wilayah kekuasaannya, dan mendengar akan teriakannya itu.
Beberapa hari kemudian ia menyuruh beberapa pengikutnya mengabarkan kepada Wangko Ne Parepey bahwa ia hendak mencoba mengadu kekuatan di gunung Tampusu. Mula-mula adu kekuatan dengan tarik menarik tali kemudian dengan memakai senjata. Seorang dari pengikutnya menyediakan rotan yang panjang.
Pada hari yang ditentukan Tumalun membawa para pengikutnya menuju gunung Tampusu. Disitu ia bertemu dengan Wangko Ne Parepey beserta denga para pengikutnya. Rotan yang panjang dilihatnya telah diletakkan membujur dari Utara ke Selatan. Did tengahnya telah dibuat garis panjang. Wangko Ne Parepey mengatakan bahwa barang siapa diantara mereka berdua meliwati garis batas tersebut dinyatakan kalah.
Maka keduanya mulai mengadu kekuatan dengan tarik tali. Para pengikutnya dari kedua belah pihak mulai berteriak-teriak selaku penambah semangat. Sudah sejam lamanya mereka itu saling tarik menarik tali tersebut tetapi tak seorangpun dari mereka yang dapat meliwati garis tersebut.
Rupanya Tumalun amat cerdik mula-mula ia hanya bertahan saja. Lama kelamaan setelah ia merasa telah cukup waktunya iapun segera menarik rotan itu sekuat-kuatnya. Karena Wangko Ne Parepey itu telah kehilangan keseimbangan badannya, dengan mudah saja ia meliwati garis tersebut dan hampir saja jatuh terjerembab.
Para pengikut Tumalun bersorak kegirangan sambil mengejek-ejek lawannya. Wangko Ne Parepey tidak menghiraukan ejekan mereka itu. Tiba-tiba ia mengeluarkan pedangnya lalu dibacoknya leher lawannya. Tetapi karena Tumalun telah menyiapkan dirinya lebih dahulu, maka pedangnya itu segera ditangkis oleh Tumalun dengan goloknya sehingga pedang itu menyeleweng ke sebelah kiri lehernya.
Tumalun segera mengangkat lembingnya ke atas, seolah-olah ditujukan pada dada lawannya. Wangko Ne Parepey hendak menangkis denga perisainya, tetapi tidak diduganya sama sekali bahwa lebih itu bukanlah hendak menikam dadanya melainkan kakinya, sehingga ia berteriak-teriak kesakitan. Kakinya luka parah kena lembing lawannya. Ia jatuh terduduk sambil mengurut-urut kakinya.
Kemudian ia berkata bahwa pada hari yang kesembilan ia akan bertarung lagi dengan Tumalun. Dikatakannya pula agar supaya kedua belah pihak bekerja keras di siang hari mengumpulkan bahan makanan binatang perburuan dan ikan agar supaya kekuatan dari keduanya bertambah. Pada malam hari harus beristirahat dan tidur. Perkataannya itu disetujui oleh Tumalun.
Kemudian Wangko Ne Parepey diusung lalu dibawa pulang oleh para pengikutnya. Tiap-tiap hari ia dirawat dan diobati oleh para pengikutnya sehingga lima hari kemudian luka pada kakinya itu sembuh.
Iapun segera memerintahkan kepada para pengikutnya menyediakan makanan dan ikan sebanyak-banyaknya untuk menjadi bekal mereka selama seminggu. Lain dari pada itu ia menyuruh menyediakan alat-alat senjata berupa pedang, tombak dan bambu runcing. Maksudnya menyuruh menyediakan alat-alat tersebut untuk beramai-ramai mengeroyok lawannya bilamana ia akan kalah.
Tumalun amat cerdik. Ia hanya menyuruh para pengikutnya menyediakan makanan dan ikan pada pagi hari, petang hari tidur, sedangkan malam hari ia mengintai lawannya. Pada malam ketujuh Tumalun mengajak beberapa orang pengikutnya supaya ikut bersamanya ke tempat tinggal lawannya. Setelah tiba iapun berjalan dengan berjingkat-jingkat menuju ke pondok lawannya.
Pada sebuah balai-balai yang diperbuat dari pada bambu dilihatnya lawanya itu sedang tidur nyenyang. Demikian juga dengan para pengikutnya. Di samping balai-balai dilihatnya masih ada nira. Nira itu diminumnya semuanya lalu diayunkannya goloknya. Sekali tebas berpisahlah kepalanya dengan badannya. Kepala dari lawannya itu dijinjingnya lalu dilarikannya dengan memakai perahu lawannya ke Tondano. Disitu kepalanya itu dikuburkan.
* Sumber: Buku album Minahasa Tanah Tercinta. Si Tou Timou Tumou Tou yang dikutip dari catatan yang tersimpan di Kandepdikbud. Kec. Kombi - Penutur cerita adalah G.M. Limpele.
Comments
Post a Comment