Kita tahu bersama bahwa keenam agama besar yang diakui negara kita masing-masing memiliki rumah-rumah ibadahnya sendiri. Nampaknya ada gedung-gedung megah tertentu yang dijadikan pusat peribadatan. Apakah agama Malesung juga demikian adanya?
Agama Malesung adalah agama yang sederhana. Hingga saat sekarang tak ada perintah dari Yang Maha Esa untuk membangun gedung sebagai tempat untuk menjalankan ritual keagamaan. Ini disebabkan oleh karena agama Malesung begitu dekat dengan alam. Namun tidak berarti bahwa umat Malesung tidak memiliki tempat khusus untuk menggelarkan peribadatannya.
Barangkali yang menjadi syarat utama tempat peribadatan umat agama Malesung adalah dekat hutan atau perkebunan dan sumber air. Mengapa? Karena umat membutuhkan tanda-tanda alam dari binatang atau tumbuhan sebagai jawaban doa. Tanda-tanda alam ini diyakini sebagai jawaban untuk doa-doa yang dipanjatkan.
Umat Malesung juga biasanya berkunjung ke tempat-tempat sakral atau keramat seperti Watu Tumani, Watu Pinabetengan, kuburan leluhur, pohon sakral, mata air, sungai, danau dan batu-batu tertentu yang dianggap bernilai suci bagi umat Malesung. Kenapa tempat-tempat itu dijadikan pusat kegiatan ritual?
Watu Tumani adalah batu pertama yang ditanam pada tahap awal berdirinya suatu perkampungan atau pemukiman. Watu Tumani adalah pusat kegiatan-kegiatan keagamaan di tiap kampung. Watu Tumani adalah saksi peristiwa upacara atau ibadah pendirian pemukiman pertama yang dipimpin walian untuk
meminta izin, berkat, pernyertaan dan perlindungan Tuhan. Batu ini
adalah monumen sejarah dan spiritual masyarakat Minahasa. Minimal setahun sekali
masyarakat datang membersihkan area sebagai upaya mengenang peristiwa
iman masyarakat.
Di tempat yang disebut Watu Tumani adalah tiga batu panjang yang ditanam berdiri tegak menghadap langit. Tiga menyimbolkan sifat Tuhan sebagai Maha Melihat (Manembo-nembo), Maha Mendengar (Manalinga) dan Maha Hadir (Renga-rengan). Watu Tumani juga disebut sebagai Watu Tiwa atau Tumotowa yang berarti batu pemanggil. Yang sejatinya lebih bermakna batu tempat memanggil umat berkumpul untuk memanggil atau beribadah kepada Yang Maha Kuasa
Watu Pinabetengan adalah situs dimana banyak peristiwa penting terkait orang Malesung atau Minahasa pernah terjadi. Situs ini adalah saksi bisu bagi banyak kejadian penting. Situs ini mempunyai nilai sejarahnya dan menyimpan kisah bernilai spiritual antara lain: tempat musyawarah ketika terjadi masalah yang sangat pelik antar suku-suku di Minahasa. Di tempat ini pula doa-doa dan harapan kepada Yang Maha Kuasa dipanjatkan agar kerukunan, kebahagiaan, kekayaan, panjang umur, kesehatan, ketaatan, kedisiplinan, kesetiaan dan kebijaksanaan serta hal-hal lain boleh menyertai umat Malesung. Karena sakralnya tempat ini sehingga masyarakat dilarang berlaku tidak senonoh di tempat itu.
Jadi, Watu Pinawetengan adalah pengingat akan bagaimana seharusnya hubungan umat Malesung dengan Sang Pencipta, sesama manusia dan alam sekitar. Dengan berkunjung ke tempat ini umat Malesung merasa dekat dengan para leluhur. Ini merangsang kenangan masa lampau, termasuk ajaran dan tradisi luhur warisan para orangtua dulu atau se Apo-apo. Jadi Pinabetengan di masa kini bisa berfungsi sebagai tempat rapat atau musyawarah, tempat ibadah kepada Tuhan Maha Kuasa, tempat untuk mengenang dan mengungkapkan penghormatan kepada para orang suci dan pahlawan Malesung.
Kuburan yang diziarahi biasanya kuburan keluarga atau milik para leluhur atau orang yang berjasa bagi masyarakat. Mereka adalah pahlawan-pahlawan. Kedatangan umat Malesung ke kuburan orang-orang terkasih ini adalah untuk melaksanakan upacara penghormatan. Dilakukan bersama-sama anggota lain agar mereka tidak lupa kepada orang-orang yang mesti diberikan penghargaan dan penghormatan. Dengan demikian mereka selalu merenungkan bahwa umat Malesung juga harus hidup luhur dan mulia agar kelak diperlakukan sama seperti leluhur yang telah pergi lebih dulu itu.
Mata air adalah sumber kehidupan maka harus dijaga kebersihannya. Begitu juga sungai atau danau dan laut. Ritual atau upacara keagamaan umat Malesung biasanya dilakukan di air bila berhubungan dengan upacara pembersihan diri atau umat dari sakit penyakit, kesialan dan aura-aura negatif yang merugikan.
Selain batu-batu, pohon-pohon juga digunakan para leluhur sebagai penanda suatu peristiwa. Itulah sebabnya pohon-pohon tertentu diziarahi dan dikunjungi. Bisa saja di bawah pohon itu pernah dilaksanakan pertemuan yang menghasilkan keputusan penting yang luar biasa. Dan ingatan itu harus dijaga tetap hidup oleh setiap generasi. Semakin sering dikunjungi semakin sukar hal tersebut hilang dari ingatan kolektif.
Kembali ke pertanyaan awal pada judul di atas: apakah Watu Pinabetengan merupakan pusat kerohanian agama Malesung? Jawabannya adalah iya dan tidak. Iya karena memang kenyataannya sejak dulu hingga hari ini, khususnya 3 Januari dan 7 Juli, Watu Pinabetengan selalu didatangi orang dalam jumlah yang besar. Tidak seperti hari-hari biasa. Mereka datang untuk beribadah, berziarah, dan sekedar berwisata. Namun, pertanyaan di atas bisa juga dijawab dengan tidak karena tidak ada amanat dari para leluhur untuk menjadikan Watu Pinabetengan sebagai pusat peribadatan umat Malesung.
Karena sejatinya, setiap tempat bila direstui oleh Yang Kuasa, bisa dijadikan tempat ibadah umat penganut agama Malesung. Dan perlu diketahui bahwa setiap kampung di Minahasa yang didirikan secara adat memiliki tempat sebagai pusat berkumpul yang disebut dengan Watu Tumotowa. Tanah datar di sekitarnya disebut sebagai Lesa'd. Ini difungsikan untuk umat berkumpul terkait pelaksanaan ritus.
Namun, yang menarik adalah beberapa tahun terakhir ada beberapa komunitas Kristen, Buddha, Konghucu, Katolik dan Islam datang beribadah di tempat ini. Yang memprihatinkan adalah adanya kelompok Kristen yang datang melaksanakan ritual "pembersihan" karena sangka mereka kami telah menjadikan tempat ini kotor atau menyembah setan. Tuduhan ini keterlaluan. Kalau memang ada oknum tertentu yang melaksanakan praktik itu, tentu dia bukan penganut agama Malesung. Dia itu penipu ulung.
Namun, yang menarik adalah beberapa tahun terakhir ada beberapa komunitas Kristen, Buddha, Konghucu, Katolik dan Islam datang beribadah di tempat ini. Yang memprihatinkan adalah adanya kelompok Kristen yang datang melaksanakan ritual "pembersihan" karena sangka mereka kami telah menjadikan tempat ini kotor atau menyembah setan. Tuduhan ini keterlaluan. Kalau memang ada oknum tertentu yang melaksanakan praktik itu, tentu dia bukan penganut agama Malesung. Dia itu penipu ulung.
Comments
Post a Comment