Memaknai Pesan Leluhur Di Tengah Wabah Covid 19

Kehidupan umat Minahasa yang betul-betul menganut kepercayaan agama Malesung sejak zaman lampau sangat mementingan keseimbangan alam. Segala kegiatan selalu disarati dan dipenuhi unsur-unsur ritual atau ibadat agama dan tradisi (kanaraman) Malesung untuk meminta izin kepada Yang Maha Kuasa lewat kuasa-kuasa kosmis. Kuasa-kuasa kosmis adalah setiap mahluk-mahluk ciptaan Apo Kasuruang Wangko yang diberi tugas dan untuk menjaga sesuatu. Umat Malesung meyakini bahwa setiap hal memiliki muku'd (jiwa), penunggu atau penanggungjawab.

Umat Malesung menyebut ritual-ritual mereka dengan istilah umum, yakni Melur. Kata melur berasal dari kata elur yang berarti atur, tata, tenang. Dengan demikian ritual atau melur memiliki tujuan agar hubungan manusia dengan lingkungan senantiasa teratur, tertata dan tenang-damai. Sudah tentu bila kehendak umat Malesung diizinkan atau tidak diizinkan oleh kuasa kosmis maka mereka akan diperingatkan dengan tanda-tanda alam.

Yang tidak diizinkan tentu jangan dipaksakan oleh umat agar tetap berlaku. Itu melawan kehendakNya. Akibatnya bisa langsung dirasakan saat itu juga. Bisa juga nanti. Itulah sebenarnya yang disebut sebagai sopan santun pergaulan semesta.

Penyakit, virus, bencana, kesialan dan musibah dimaknai oleh orang Minahasa sebagai momen untuk merenung dan berefleksi. Bisa saja peristiwa itu merupakan akibat dari tidak tertata dan tidak teraturnya relasi atau hubungan manusia dengan alam sekitar. Maka diperlukan upacara atau ritual demi memastikannya. Dalam ritual, Yang Maha Kuasa akan berbicara lewat orang-orang terpilih, leluhur dan para walian soal apa yang perlu dilakukan dalam menghadapi pergumulan hidup.

Leluhur umat Malesung berpesan, "Sapa ke' si kayoba'ang anio' tana'ta im baya. Asi endo makasa, sa me'em si ma'api', wetengeng e patu'usang, wetengeng eng kayoba'ang. Tumani e kumeter. Mapar e waranei. Aka'd se tu'us tumou wo tumou tou."

Amanat leluhur di atas mengharuskan kita agar alam semesta (kayoba'ang) ditata dan dibagi (wetengeng) secara adil dengan terlebih dahulu meminta izin atau tanda (me'em si ma'api') kepada Yang Kuasa. Lalu alam semesta harus dijadikan ruang hidup (tumani) yang memungkinkan semua mahluk hidup dan saling menghidupkan (tumou wo tumou tou). Disini tentu diharapkan kita mengambil peran sebagai tokoh panutan (patu'usang), pekerja keras (kumeter) serta pelindung dan pemberani (waranei).

Pandemi Covid19 telah menciptakan tantangan baru bagi umat Malesung dan semua masyarakat dunia. Pesan atau amanat leluhur di atas sangat relevan dengan kondisi ini. Kita yang secara bersama-sama menghuni bumi ini diajak untuk berbagi dengan sesama. Berbagi disini bisa bermakna berbagi pemahaman yang benar, kebutuhan pokok, alat-alat kesehatan dan lain sebagainya.

Semangat tumani dan mapar yang diutarakan leluhur tersebut mesti mewujud dalam kreatifitas menghadapi tantangan baru. Kalau selama ini kita (khususnya di kota) terbiasa dengan makanan cepat saji, kita dapat berbalik ke tradisi lama, yakni memasak sendiri makanan kita. Karena kita tinggal di rumah saja (stay at home), kita jadi punya banyak waktu tapi sumber pendapatan sudah menipis. Jika tanah halaman rumah kita cukup luas, praktik berkebun bisa dihidupkan kembali dengan menanam umbi-umbian, sayur dan tanaman untuk bumbu masakan. Banyak bahan makanan dan obat-obatan tradisional yang nyaris dilupakan dapat dicari kembali di hutan.

Minahasa hari ini masih memiliki banyak patu'usan di kampung-kampung yang dapat memberi konsultasi gratis soal alternatif obat-obatan, suplemen, bahan makanan dan hal-hal lain yang didasarkan pada local genius atau kearifan dan pengetahuan leluhur. Mereka barangkali adalah nenek-kakek, bibi-paman, ibu-ayah atau bahkan tetangga kita sendiri. Semoga kita menemukannya. Pakatuan wo pakalowiren cita im baya.

Comments