Orang Minahasa Tamu di Tanah Sendiri

oleh: Laloan

Sulawesi Utara itu tiap hari semakin unik. Mayoritas penduduknya menganut agama Kristen yang identik dengan ajaran kasih. Di daerah ini hidup semua agama besar: Islam (31,17%), Kristen (62,68 %), Katholik (5,31 %), Buddha (61%), Hindu (0,17%), Khonghucu (0,06%). Selain 6 itu, juga ada Baha'i, Tao, dan Yahudi. Kesembilan agama itu berasal dari luar Indonesia. Unik ya.

Agama-agama asli Indonesia juga ada beberapa di Sulawesi Utara. Namun sering tak terdeteksi oleh radar. Ada Malesung, Masade dan Adat Musi. Bahkan ada Kejawen dari pulau Jawa. Agama-agama lokal ini disebut Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Disingkat Penghayat. Jumlah keseluruhan penghayat di Sulawesi Utara hanya 0,04 %. Sedikit di atas Khonghucu. Tapi kota Manado dipimpin oleh umat Khonghucu. Padahal populasi Khonghucu di Manado hanya 0,06 %. Unik ya.

Manado menjadi bukti bahwa masyarakat sudah dewasa? Atau karena keyakinan bukan lagi hal penting untuk ditelusuri? Atau karena faktor ekonomi-politik. Ah entahlah. Silahkan pikir saja sendiri. Yang pasti masyarakat kota Manado tidak gaduh dengan terpilih dan dilantiknya untuk kedua kali Andre Angouw sebagai Walikota.

Adakah sosok lain yang berasal dari kelompok minoritas yang menjadi pejabat publik di Sulawesi Utara? Kayaknya penting juga disentil soal gubernur Sulawesi Utara yang baru dilantik Presiden Prabowo Subianto pada Kamis 20 Februari 2025 kemarin. Gubernur Yulius Selvanus adalah pria yang mewarisi darah suku Toraja dari ayahnya dan Minahasa dari ibunya. Meski sempat diprotes oleh sebagian besar warga, tapi pilihan atau suara terbanyak mayoritas Sulawesi Utara jatuh kepada beliau. Unik juga ya.

Sepertinya, dari contoh kasus di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa siapa saja yang punya mimpi untuk menjadi pemimpin di Sulawesi Utara memiliki peluang yang sama. Kayaknya isu suku, agama, dan ras tak terlalu mempan di tanah Nyiur Melambai.

Tapi apakah masyarakat Sulawesi Utara memang toleran? Kita tak boleh tergesa-gesa berkesimpulan seperti itu. Jangan juga mengabaikan fakta-fakta lain. Hanya karena kota Manado memiliki peringkat kerukunan yang lumayan baik. Walaupun makin menurun juga sih.


Baik, saya masuk pada pokok persoalan. Penghayat atau penganut agama Malesung termasuk banyak di Sulawesi Utara. Ada sekitar 1700 orang ber-KTP Penghayat. Ada yang terhimpun dalam lembaga. Ada yang perseorangan. Ada yang memiliki kartu tanda identitas dengan kolom Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Ada yang tidak. Tapi pada praktiknya melaksanakan upacara agama tua Minahasa, Malesung. Uniknya ada yang di KTP-nya tertulis Kristen dan lainnya, tapi juga giat menunjukkan jatidirinya sebagai penghayat kepercayaan Malesung.

Lalang Rondor Malesung (LAROMA) adalah organisasi penghayat kepercayaan Malesung yang baru didirikan pada tahun 2016. Tapi, para pendiri dan warga yang menjadi anggota nyaris semuanya mempraktikkan ajaran leluhur sebelum LAROMA ada. Sehingga tak dapat diragukan bahwa LAROMA adalah salah satu bentuk upaya untuk melanjutkan agama atau sistem kepercayaan asli Minahasa yang sudah ada sedari ribuan tahun lalu.

Sejak 2016 itu kegiatan upacara mulai didokumentasikan. Dan disebarkan lewat platform-platform media sosial. Dengan harapan masyarakat akan memperoleh informasi dan pendidikan yang tepat dari para penganutnya sendiri. Namun, ternyata tanggapan dari masyarakat kebanyakan cenderung negatif. Yang berujung pada upaya penghalangan, pembusukan karakter, fitnah dan perusakan rumah warga penghayat yang dijadikan sekretariat dan tempat ibadah sementara.


Kehadiran LAROMA dianggap ancaman bagi kekristenan di desa Tondei dan Minahasa secara keseluruhan. LAROMA diserang habis-habisan dengan berbagai tuduhan yang tak benar. Warganya dipecah-belah, dibujuk, diancam, dihalangi untuk mengganti Kartu Keluarga (KK) dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) oleh masyarakat dan aparat desa. Akibatnya, ada warga yang enggan, ragu, takut lagi bersekutu dan menjalankan upacara bersama. Bahkan hingga kini di acara-acara sosial kemasyarakatan,  warga LAROMA dijadikan sasaran perundungan. 

Tahun sebelumnya bahkan ada murid dan guru melakukan perundungan kepada murid warga LAROMA. Tahun ini sudah tidak lagi. Ada satu siswa LAROMA sudah mendapatkan pelayanan mata pendidikan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Budi Pekerti.


Kenapa Penghayat LAROMA, khususnya di desa Tondei, didiskriminasi? Jawaban dari mereka adalah karena warga LAROMA adalah warga gereja. Selain itu karena ajaran LAROMA bertentangan dengan kitab suci Kristen.  Ini tanggapan saya. Berkenaan dengan alasan pertama, harusnya cukup mereka peringatkan warganya. Tapi melarang tak bisa. Terkait alasan kedua, warga LAROMA yang bukan Kristen tidak boleh juga dilarang dan dhalangi ibadahnya. Karena itu sama dengan memaksakan agama Kristen kepada orang lain agamanya. Itu sangat bertentangan dengan hak asasi manusia.

Warga LAROMA tiba-tiba sadar bahwa kebebasan beragama dan berkeyakinan di tanah Minahasa sudah tidak ada. Atau terancam. Penghayat LAROMA merasa ada di tengah-tengah serigala yang buas dan siap menerkam. Ada kelompok yang merasa paling benar dan paling berhak di Minahasa.


Warga Penghayat LAROMA adalah pemilik rumah yang menjadi tamu di rumahnya sendiri. Warga LAROMA adalah warga Minahasa yang tinggal di tanah Minahasa tapi dilarang, dihambat, dipersulit menjalankan kepercayaan atau agama turun temurun leluhur Minahasa. Menjadi warga seperti di zaman penjajahan. Seolah menjadi warga kelas dua. Unik ya.

Keadaan yang dialami warga LAROMA sangat kontras dengan semboyan "Torang Samua Basudara" dan "Torang Samua ciptaan Tuhan" serta "Damai di Hati" yang selalu didengungkan selama ini. Warga Penghayat tidak minta diperlakukan istimewa. Tapi kami menuntut hak-hak yang dijamin oleh negara. Keberadaan penganut agama Malesung adalah sah secara hukum.

Harapan warga LAROMA tidak muluk-muluk. Berikan kami kebebasan menjalankan keyakinan kami. Jangan paksa kami menganut agama atau kepercayaan yang tak kami yakini. Kita tinggal di Indonesia. Semboyannya Bhineka Tunggal Ika. Rahayu



Comments